Minggu depan, Monsieur Vargas akan kembali ke Indonesia. Beberapa kali aku melewati gedung yang sedang dipersiapkan menjadi restoran Eropa miliknya. Gedung itu tampak semakin siap untuk diresmikan. Tiap kali melihatnya, aku merasa waktu berputar lebih cepat, membawa aku semakin dekat pada akhir peran sebagai "pendamping" Monsieur Vargas. Ada rasa lega sekaligus cemas menyusup di hatiku, seolah aku berdiri di tepi sebuah babak baru yang penuh ketidakpastian.
Di tengah pikiran yang mengerubungiku, Fardan muncul lagi. Kami makan siang di kantin kampus. Ini sudah entah kali keberapa kami menghabiskan waktu bersama, baik makan atau nongkrong di sekitaran kampus. Aku tidak pernah menyangka hubungan kami bisa sejauh ini. Awalnya Fardan begitu sinis, tapi sekarang dia sering tertawa lepas di hadapanku. Tawanya yang renyah seperti cahaya kecil yang menghangatkan hariku.
Kadang, kami menghabiskan waktu di warung burjo dekat kampus, sekadar berbagi obrolan ringan di sela-sela jadwal kuliah. Anehnya, aku merasa lebih nyaman di warung burjo yang sederhana dibanding saat mengenakan gaun mewah di pesta koktail sebagai teman Monsieur Vargas. Ada sesuatu yang nyata dalam percakapan dengan Fardan, sesuatu yang tidak pernah kutemukan di balik kemewahan dunia Monsieur Vargas.
Semakin lama, Fardan menunjukkan sisi dirinya yang berbeda. Mungkin benar apa yang pernah dia katakan: dia hanya belum bisa ramah pada orang yang belum akrab dengannya. Meski begitu, aku masih merasa aneh dengan perubahan sikapnya. Fardan yang dulu acuh tak acuh kini begitu spontan mengajakku bicara, bahkan makan bersama. Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
“Bi... kamu tuh ada yang disembunyiin ya?” tanyanya tiba-tiba sambil menatapku tajam.
Aku tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Nyembunyiin apa? Duit orang?” Aku bermaksud bercanda, tapi dia tidak tertawa.
“Kamu lagi sedih, ya?” tatapan matanya makin fokus.
“Ah, biasa aja, kok. Sedih nggak, senang juga nggak.” Aku berusaha menjawab datar, berharap dia tidak mengejar lebih jauh.
“Ooo...” Dia mengangguk kecil, seolah menerima jawabanku.
Namun, aku justru penasaran. “Emang kenapa sih, Mas?”
“Ya, soalnya kelihatan aja. Kalau dari dalam diri kita ada rasa sedih, meskipun coba ditutupi, tetap aja sulit disembunyikan,” jawabnya dengan nada serius.
Aduh, gaya bicara Fardan sudah seperti psikolog saja. Aku menepisnya sambil tertawa kecil. “Halah, Mas Fardan nih bisa-bisanya aja.”
“Tapi bener, kan?” godanya sambil tersenyum lebar. Senyumannya menonjolkan pipi tembemnya yang menggemaskan. Cara dia tersenyum benar-benar mengingatkanku pada Dik Raka, adikku yang sudah lama tidak kutemui.
Obrolan kami hari itu memberi inspirasi bagiku untuk menulis puisi. Sepulang dari kampus, aku duduk di depan laptop dan menuangkan perasaanku dalam rangkaian kata sederhana.
Satu Senyum untuk Hari Buruk
Benarkah ada hari buruk?