Monsieur Vargas baru saja tiba dari Prancis, dan seperti biasa, dia tidak menepati janjinya. Kali ini, janji untuk membawakanku lukisan Danielle de Barbarac hanya tinggal janji. Sebagai gantinya, dia hanya bilang bahwa lebih mudah mencari poster Monalisa, Virgin of the Rocks, atau duplikat lukisan terkenal Da Vinci lainnya.
“Aha... Monsieur... Je suis très content de regarder vous d’être par ici,” sapaku dengan bahasa Prancis seadanya saat menyambut teman kencanku ini di bandara. Biarpun sekadar formalitas, setidaknya aku harus menunjukkan kalau aku senang dia hadir lagi di Jogja. Seperti kata-kata Prancis tadi yang entah benar atau tidak.
“Moi aussi, bébé.” Monsieur Vargas tersenyum dan langsung memberi kecupan hangat di bibirku.
“O...ya Monsieur, Mister Edward bertanya terus soal peresmian restoran Eropa-nya,” ujarku, mencoba mencari cara untuk cepat melepaskan momen ini.
“Ah, urusan bisnis, nanti saja dibahasnya. Saya masih lelah. Dari Prancis kemarin, menetap dulu di Jakarta satu hari sudah membuat saya pusing. Saya ingin cepat-cepat sampai di Jogja.” Vargas menatapku dengan sorot genit. “Bianca... kamu nanti harus temani saya di hotel dulu ya, soalnya saya masih enggan untuk menempatkan barang-barang saya di wisma.”
“Hahahaha...” Aku tertawa renyah, seolah-olah benar-benar paham dengan maksudnya. Dalam hati aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk menghindari permintaannya yang terlalu menggoda itu.
Akhirnya aku bertemu juga dengan Mr. Edward. Dia datang menemui Monsieur Vargas di wisma khusus ekspatriat Prancis tempat Vargas menginap.
“Wah, ternyata interior restoran Monsieur Vargas sudah lengkap ya... Karena saya tertarik untuk sedikit merubah fasad bangunan restoran Anda biar kesannya lebih elegan dan catchy,” ujar Edward, mengamati desain arsitektur di layar tablet yang dibawanya.
Aku sempat terkejut melihat sosok Mr. Edward. Dari suaranya di telepon yang berat dan dewasa, aku membayangkan dia seorang pria setua Vargas. Ternyata, dia masih muda. Tampaknya usianya tak lebih dari akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan.
“Anda yakin desain fasad dari Anda untuk restoran saya dijadikan proyek barter?” Tanya Vargas, matanya menyipit sambil berpikir. Aku menyimak diskusi mereka dengan saksama, berusaha menjaga fokus agar tidak terlihat mengantuk atau bosan.
“Oh, tentu saja. Karena saya ingin perusahaan saya dipromosikan pada saat peresmian restoran Monsieur Vargas nanti,” jawab Edward dengan penuh percaya diri.
“Mmm.” Vargas terlihat mempertimbangkan tawaran itu. Edward membalas dengan tatapan optimis, sepasang mata birunya tampak bercahaya di balik kacamata.