Setelah Monsieur Vargas mengantarkanku pulang, aku merasa malam ini menjadi titik akhir dari sesuatu yang sudah lama menggantung dalam pikiranku. Di dalam mobil, saat mendengar suaranya yang lembut menawarkan agar aku tetap tinggal, perasaanku bercampur aduk. Tapi aku tahu, ini saatnya mengambil keputusan krusial.
“Merci beaucoup, Monsieur,” kataku dengan suara yang berusaha tetap tegar, meski jantungku berdegup kencang. “Saya mencoba profesional selama ini, tapi saya rasa... sekarang sudah waktunya untuk mengakhiri ini semua. Saya tidak bisa terus seperti ini.”
Monsieur Vargas terdiam sejenak, sorot matanya berubah menjadi teduh. “Bianca... Saya mengerti. Saya hanya bisa berterima kasih atas kelembutan dan kehadiranmu. Kau selalu membuat segalanya terasa lebih indah.”
Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan guncangan di dalam hatiku. "Terima kasih, Monsieur. Semoga Anda juga mendapatkan apa yang Anda cari."
“Semoga kamu bahagia, Bianca,” katanya pelan, sebelum mengecup keningku sebagai tanda perpisahan. Itu bukan ciuman penuh gairah, melainkan penuh penghormatan. Seperti yang selalu aku harapkan dari seorang ayah, yang tidak pernah aku miliki.
Saat aku turun dari mobilnya, di halaman apartemenku yang sepi, langkahku terhenti. Dari kejauhan, aku melihat Fardan berdiri dengan sebuket mawar putih di tangannya. Matanya menangkap ciuman di keningku barusan. Seketika itu juga, aku melihatnya membalikkan badan dan mulai berjalan cepat menjauh.
“Mas Fardan!” teriakku panik. Aku segera melepas sepatu high heels yang terasa mengekang langkahku, berlari mengejarnya tanpa memedulikan tatapan orang-orang.
Namun Fardan tidak berhenti. Baru setelah beberapa langkah, tubuhnya tampak lunglai, dan dia memunggungiku. Aku bisa melihat tangan kanannya, yang memegang buket bunga itu, mulai gemetar.
“Mas Fardan, tolong dengarkan aku!” suaraku serak, hampir bergetar. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Aku tahu aku harus menjelaskan, tapi kata-kata rasanya tersangkut di tenggorokanku.