Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #11

ONE SEDUCTION

Sungguh benar-benar sepi job. Dulu aku lumayan sering nge-MC di lounge atau kafe-kafe. Tapi bagaimanapun juga, uang bukanlah hal yang mutlak. Yah, ketimbang banyak duit tapi kerjaannya nyeleneh macam jadi cewek "penghibur" seperti kerjaanku di bawah bisnis tanteku.

Aku berencana menjual mobilku. Iklan sudah aku pasang di koran, sekaligus menyebarkan info lewat beberapa teman. Yah, walaupun yang namanya menjual mobil tetap saja tidak sama layaknya jual kacang.

Sambil cari kerja sampingan, aku berusaha membaur dengan teman-teman kampusku. Intinya demi membangun kepercayaan mereka supaya mereka berpikir positif tentang aku. Dengan cara seperti itu, aku yakin bisa menstimulasi rasa percaya diriku.

Setelah UAS, klub debat-nya Rifat mengadakan makrab di Kaliurang. Aku mencoba ikut, siapa tahu bisa tambah open mind.

Acara malamnya seru juga. Kami main truth or dare sembari bakar jagung di api unggun. Menyenangkan rasanya, aku bisa juga membaur sama mereka.

“Eh, Mas, Mas Fardan nggak ikut?” tanyaku pada Nobo dan Tyo yang juga ikut acara itu.

“Kenapa, kangen ya…?” Nobo ngajak bercanda.

“Kalau Fardan sih, ogah ikutan acara organisasi,” Tyo menyambar.

“Oooo…” Aku lalu melipat bibirku.

Intro lagu Genie in a Bottle berbunyi. Aku memang masih setia sama lagu ini untuk dijadikan ringtone. Aku melihat ID si penelepon, dalam batin aku berpikir, “Lho, kok dia masih di Jogja?”

“Hello…”

“Hello, Bianca. How are you?”

“I’m okay, Ed… Anyway, masih suka tinggal di Jogja ya…” Aku pikir Edward benar-benar betah tinggal di Jogja.

“Saya mau pamit. Besok saya akan ke Jakarta, persiapan buat pulang ke London.”

“Wah, hati-hati ya…”

“Kamu mau oleh-oleh apa kalau saya ke Jogja lagi?”

“Mmm, thanks, tidak perlu, Ed…” Aku mulai menyingkir dari keramaian.

“Anyway, nanti akan saya bawakan yang kamu suka pokoknya.”

“Thanks…”

“Oke, Bianca. Good bye.”

“Take care, Ed. Bye…”

Sebuah pembicaraan yang singkat memang. Aku harap Edward tidak menganggap aku sebagai cewek yang bisa “dibawa”. Tapi tampaknya susah baginya berpikir positif tentang aku, soalnya dia kan sudah tahu posisiku sebagai apa waktu mendampingi Monsieur Vargas dulu. Mana Edward mau peduli jika aku bukan cewek seperti itu lagi? Ah… Aku buang kekalutanku dan lebih memilih untuk membaur lagi di acara api unggun.


“Tok, tok, tok.” Ada yang mengetuk pintu rumah Rifat. Fardan menengok ke arah jam dinding di ruang santai, ternyata jam delapan malam kurang sepuluh menit.

Dengan agak enggan, Fardan menunda sejenak acara main PS-nya dan kemudian membuka pintu untuk memastikan siapa yang datang.

Lihat selengkapnya