Aku memilih duduk di dekat pintu masuk warung Soto Pak Zaenal, tempat yang biasanya jadi favoritku karena anginnya sering berembus lembut, menyapu rasa gerah yang menempel. Kali ini, warungnya tampak lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena masa KRS-an, pikirku. Biasanya tiga hari lagi, saat kuliah mulai aktif, warung ini pasti kembali penuh sesak dengan para mahasiswa.
Pesanan es lemon tea-ku datang lebih dulu daripada sotonya. Tenggorokanku yang terasa kering langsung terguyur kesegaran saat aku menyeruputnya melalui sedotan. Rasanya seperti menenangkan sesuatu yang tak terlihat—rasa gugup yang entah mengapa muncul sejak tadi pagi.
Arif, anak Pak Zaenal yang umurnya setahun lebih muda dariku, datang membawakan soto ayam yang aku pesan. Wajahnya ramah, khas anak muda dengan aksen Sunda yang masih kental.
“Hei Rif, tahun ini udah mulai kuliah ya?” tanyaku basa-basi.
“Iya, teh,” jawabnya sambil tersenyum, menempatkan mangkuk soto di meja. “Mangga atuh, teh, dimakan sotonya.”
Aku mengangguk dan tersenyum tipis, tapi saat Arif beranjak pergi, entah kenapa bulu kudukku tiba-tiba meremang. Rasanya seperti ada yang mengawasi dari belakang. Tubuhku tegang, jantungku berdetak lebih cepat. Aku mencoba menenangkan diri dengan berpikir rasional—mungkin itu hanya perasaan saja, pikirku. Lagipula, aku yakin pakaian yang kupakai hari ini sudah jauh lebih sopan daripada dulu. Tidak mungkin ada sesuatu yang “terbuka” hingga menarik perhatian.
Namun, rasa merinding itu bukan hanya perasaan sesaat. Sensasinya mulai menjalar, dari punggung ke tangan, hingga ubun-ubunku terasa bergetar seperti ada gelombang energi yang menekan. Keringat dingin mulai pecah di pelipisku, dan sebelum aku sempat memutar badan untuk memeriksa, suara seorang laki-laki membuat tubuhku membeku.