Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #17

Brokedown Brotherhood

Usai kuliah siang itu, geng cowok itu memutuskan untuk membungkus nasi Padang. Mereka berniat makan bersama di rumah Rifat, sahabat mereka yang absen dari kelas Grammar hari ini. Namun tak satu pun dari mereka tahu bahwa siang itu mereka tidak hanya akan menghadapi makan siang, tapi juga konflik yang mengoyak keakraban mereka.

Di rumah Rifat, suasana berbeda. Ia duduk menyendiri di ruang tamu, masih mengenakan batik yang kusut, sebagian kancingnya copot. Bekas luka dan emosi dari pertengkaran pagi tadi di rumah sakit—dengan ayah Gina—masih membekas. Nafsu makannya sudah lama pergi, tersapu amarah dan kekecewaan yang mendidih di dadanya. Ia merasa dikhianati. Sahabat yang ia pikir tak selevel dengannya justru menusuk dari belakang.

Tiba-tiba, suara dua motor berhenti di garasi. Tak lama, pintu terbuka.

“Assalamualaikum,” seru Nobo, menyeringai santai.

Rifat hanya menoleh sebentar, wajahnya tak menunjukkan ekspresi.

“Nobo kasih salam, kok nggak dijawab, Fat?” celetuk Tyo, mencoba mencairkan suasana.

“Waalaikumsalam,” jawab Rifat pelan, suaranya serak.

“Biasanya mobilmu langsung diparkir di dalam. Tapi kamu pasti udah makan bareng keluarga Gina, ya? Makanya kita nggak bawain nasi Padang,” ujar Tyo, sambil meletakkan bungkusan nasi di meja.

Fardan berdiri kaku di belakang mereka. Ia mencoba membuka obrolan, canggung.

“Gimana wisuda Gina, Fat?”

Namun kata-kata itu justru menyulut bara.

Lihat selengkapnya