Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #18

Quality Time with Someone Like (Not) You

Mengingat Fardan masih membuat jantungku berdegup kencang. Aku tidak bisa menyangkal, dia adalah cinta pertamaku. Sudah sejak tadi aku berbaring di kasur, melamun, menatap lukisan Danielle de Barbarac yang tergantung di dinding kamarku. Ingatan tentang Fardan datang begitu saja.

Yogyakarta. Aku tetap mencintai kota ini, walau begitu banyak kepahitan yang harus kutelan sejak keluargaku pergi untuk selamanya. Namun, kota ini juga memberiku keindahan—beberapa di antaranya cukup ampuh menepiskan luka-lukaku, termasuk luka ketika mendengar bahwa Fardan keluar kuliah dan menikahi Gina, gadis yang dulunya menjadi target pendekatan Rifat, hanya karena ia telah menghamilinya.

Aku tahu kabar itu dari Tyo. Dia satu-satunya anggota geng mereka yang masih cukup ramah dan terbuka padaku.

"Mas Tyo... Mas Fardan ke mana? Kok nggak pernah bareng lagi?"

Aku benar-benar kangen. Kalau tidak, mana mungkin aku membuat diriku malu bertanya begitu.

Tyo terlihat canggung. Biasanya ceria, kali ini dia tampak bingung mencari kata. Saat ia akhirnya menjelaskan, aku hanya bisa diam. Dunia seperti runtuh di hadapanku. Harapanku untuk punya hidup bahagia seketika terasa seperti bualan. Tuhan, bila aku memang rusak, seberapa rusaknya aku hingga membuat hidup seorang cowok baik-baik ikut hancur karena jatuh hati padaku?

Untunglah, sebelum berita menyakitkan itu sampai kepadaku, aku sempat mencicipi momen-momen ringan bersama Edward. Demi melanjutkan hidup, aku akhirnya menerima ajakannya untuk bertemu.

Dengan sopan, Edward menjemputku dari apartemen—satu-satunya aset yang masih kumiliki dan pertahankan. Kami naik taksi menuju Djendelo, sebuah kafe di lantai dua toko buku impor di Condong Catur.

Kafe itu punya nuansa sastra yang kuat, cocok untuk mahasiswa-mahasiswa pencinta buku. Menu-menunya juga unik. Es krim favoritku? Werkoedara Tjoekoer Brengos—es coupe de maison dengan whipped cream, choco chips, extra topping parutan keju. Jogja memang gudangnya ide kreatif.

“Kamu pasti suka baca, ya?” tanya Edward sok menebak.

“Karena kacamata tebelku?” Aku tersenyum. Setidaknya, aku yakin meski minusku tinggi, aku tidak terlihat seperti kutu buku.

Lihat selengkapnya