Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #20

Competition

Pagi tadi Edward sudah berangkat ke Jakarta. Dari sana, ia akan kembali ke London. Ia tidak bilang kapan akan datang lagi ke Jogja.

“Kamu dong yang ke Inggris,” katanya waktu kami berpisah kemarin.

‘Yah, duit dari mana mas buat ke Inggris?’ batinku berceloteh. Tapi tentu aku tidak mengucapkannya. Aku hanya tersenyum lebar, mencoba menyembunyikan getir itu.

“Thanks for being my good friend,” jawabku sambil menatapnya sekali lagi, berusaha menyimpan wajahnya dalam ingatan.

Sekarang aku sudah masuk semester tiga. Di semester ini, Grammar III jadi momok paling menakutkan. Katanya, ini adalah mata kuliah grammar tersulit dibanding tingkatan lainnya. Aku tahu, kalau aku terlalu keras pada diriku sendiri, aku hanya akan tertekan. Maka kuputuskan untuk tidak memasang target yang terlalu tinggi—cukup fokus belajar dengan tenang.

Baru saja aku keluar dari kelas Grammar bersama Pak Rahmat, dosen yang terkenal killer. Rasanya masih panas di dada karena aku sempat salah menjawab pertanyaan beliau. Dengan suara tajam, beliau menegurku dan bahkan menyebutku “budeg,” seolah aku tidak mendengarkan.

Aku sempat ingin marah. Tapi kalau aku biarkan diriku terus kesal hanya karena satu kata itu, aku pasti akan semakin malas belajar Grammar—padahal ini penting. Jadi, diam-diam, di binder catatanku kutulis kalimat sederhana: “I Love Mr. Rahmat.”

Aku percaya pada kekuatan kata-kata. Mungkin dengan itu aku bisa menahan diri agar tidak sakit hati lagi kalau dibilang “budeg.” Aku ingin belajar, bukan menyerah.

Lihat selengkapnya