Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #22

Never Surrender

“Do you have to let it linger?” begitu suara Dolores O’Riordan dari The Cranberries mengalun di kepalaku. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri—semangatku tidak boleh menjadi sesuatu yang linger, hidup segan, mati pun tak mau. Aku harus membuatnya tumbuh, bergerak, dan terus berkembang.

Jam empat sore, aku sudah bersiap di counter kartu GSM pascabayar yang kujaga di Galeria Mall. Keramaian mall bergemuruh seperti biasa. Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Kali ini ringtone-nya bukan lagi lagu mellow, tapi Everybody’s Changing dari Keane—lagu yang selalu mengingatkanku bahwa hidup terus berjalan dan aku pun harus berubah.

Di layar, muncul nomor Jakarta.

“Siapa ya? Kennedy biasanya langsung menelepon dari handphone-nya. Atau… jangan-jangan Edward sudah kembali ke Indonesia? Wah, seru sekali kalau bisa ketemu dia lagi,” batinku mengawang.

“Halo, selamat sore,” sapaku, mencoba tenang.

“Sore, dengan Bianca Resita Murti?” suara seorang perempuan terdengar jernih, tegas, sekaligus ramah di ujung sana.

“Iya, betul. Saya sendiri.” Aku menjauh dari counter, menghindari kebisingan mall.

“Saya Sri, dari British Council Jakarta. Bianca pernah mengirimkan esai tentang Inggris, kan?”

Jantungku langsung berdegup cepat. “Iya, betul sekali, Mbak Sri.”

Lihat selengkapnya