Tiga pemenang lomba dikumpulkan di lounge Hotel Century Park, Senayan. Aku masih berusaha mencerna kenyataan: dari sekian banyak peserta se-Indonesia, namaku termasuk dalam daftar tiga besar. Di ruangan berpendingin udara itu, aku memperhatikan dua orang yang akan jadi teman seperjuanganku. Juara pertama adalah Aditya, mahasiswa Ekonomi dari UnPad. Wajahnya ramah, gaya bicaranya penuh percaya diri. Juara kedua, seorang mahasiswi hukum dari UI bernama Frisky. Perempuan berjilbab anggun itu setahun lebih tua dariku, pembawaannya tenang dan penuh wibawa.
Obrolan ringan mengalir di antara kami bertiga, sampai akhirnya sosok yang kami tunggu datang. Seorang perempuan dengan rambut lurus sebahu yang di-bleach burgundy, mengenakan pakaian serba biru, masuk sambil kewalahan membawa beberapa lunch box.
“Halo semuanya, saya Sri,” ucapnya sambil meletakkan kotak makan di meja, lalu menyalami kami satu per satu.
Ia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. “Duh, kalian pasti ngira aku kayak ibu-ibu ya, mentang-mentang namaku Sri?” Kami semua tertawa kecil, dan seketika suasana jadi lebih akrab.
Setelah makan siang, Mbak Sri mengurus proses administrasi check-in kamar hotel. Karena pemenangnya ada dua perempuan, otomatis aku sekamar dengan Frisky. Saat masuk kamar, aku terperangah. Panitia ternyata menyediakan Junior Suite, bukan kamar standar. Walau dulu aku pernah berada di tempat lebih mewah, kali ini rasanya berbeda—lebih membanggakan, karena semuanya murni hasil kerja keras dan pencapaian pribadiku.
Namun, ada rasa canggung yang tak bisa kusembunyikan. Frisky begitu anggun dengan pakaian tertutupnya, sementara aku masih menyimpan tato malaikat bergaya emo gotik dengan sayap tribal di pinggulku. Aku berusaha ekstra hati-hati saat berganti pakaian agar tato itu tidak terlihat.
Malamnya, aku tak kunjung bisa tidur. Jam sudah menunjukkan sebelas lewat, sementara Frisky terlelap sejak setengah sembilan. Dari window seat di dekat jendela lantai tujuh, aku menatap ke luar. Lampu-lampu kota Jakarta berkilau, dan di kejauhan terlihat gerbang Gelora Bung Karno yang megah. Aku memasang earphone, mendengarkan “Beautiful Life” dari Ace of Base—lagu kesayanganku sejak SD. Ada rasa nostalgis yang hangat.
Tiba-tiba, getaran dari ponsel di saku piyamaku memutus keheningan. Untung sudah kusilent. Layar LCD menampilkan tulisan “private number”. Biasanya aku malas mengangkatnya, tapi entah mengapa malam itu jemariku menekan tombol “answer”.
“Halo, selamat malam,” bisikku lirih, khawatir mengganggu tidur Frisky.
“Hello Bianca, how are you? Di Jogja sudah malam ya? This is Edward, calling from London.”