Sumpah, siang di hari pertama April 2005 benar-benar bikin kesal. Rasanya aku ingin meledak karena ulah geng-nya Tyo. Kami sekelompok di mata kuliah Writing dengan tugas membuat paper bersama, tapi tidak satu pun dari mereka menyiapkan materi penelitian. Bahkan Rifat, si “Mr. Know All” yang biasanya sok perfeksionis, kali ini jadi super malas.
Padahal, aku sudah menyelesaikan bagianku tiga hari lalu. Lebih parah lagi, Rifat yang katanya akan menyusun hasil penelitian kami justru tidak membawa naskah yang kuberikan. Sebagai senior, seharusnya dia memberi contoh yang baik, bukan malah ikut–ikutan lalai. Aku merasa dikhianati.
Begitu Bu Sila masuk kelas, rasa grogi langsung merayap ke seluruh tubuhku. Aku buru-buru pamit ke toilet, berharap sedikit menenangkan diri. Tapi ternyata, meski sudah membasuh wajah dengan air dingin, degup jantungku masih kacau. Wajar saja—materi presentasi belum siap sama sekali!
Namun betapa kagetnya aku ketika kembali ke kelas. Rifat berdiri di depan dengan tenang, menjelaskan materi lewat PowerPoint yang sudah rapi. Tyo dan Nobo duduk di sampingnya, tampak siap menjawab pertanyaan forum.
“Bianca, silakan gabung dengan kelompoknya,” ucap Bu Sila sambil tersenyum.
Aku terpaku beberapa detik, masih tidak percaya. Mereka ternyata sudah menyiapkan semuanya diam-diam. Dengan kikuk, aku menarik kursi dan duduk bersama mereka di depan kelas.
“Ini April Mop, Bi. Nggak boleh marah, ya…” bisik Tyo, matanya menyiratkan usil yang khas.
Aku hanya bisa mendesah lega bercampur jengkel. Meski sempat dibuat grogi setengah mati, akhirnya aku ikut bangga dengan presentasi kelompok kami yang berjalan mulus.
Sore itu, setelah semua kelas bubar, kami masih nongkrong di kampus. Rasanya lega bercampur hangat bisa menertawakan kembali kekesalan barusan.
Tiba-tiba, ringtone Everybody’s Changing dari handphone-ku berbunyi. Tanpa sempat melihat layar, aku langsung mengangkatnya.