Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #27

London Calling

Alarm jam digital di pergelangan tanganku kembali berbunyi tepat pukul satu. Entah ini pukul satu siang atau dini hari, aku tidak begitu peduli lagi. Jam itu masih tersetting waktu Indonesia, sementara aku kini tengah melayang di udara, dalam perjalanan panjang menuju London. Tidurku selama penerbangan tidak jauh berbeda dengan orang pingsan atau tepatnya seperti kerbau tidur, kalau istilah yang sering dipakai ibu-ibu.

Aditya, di sebelah kanan, hanya termenung menatap keluar jendela pesawat dengan ekspresi sulit ditebak. Mbak Frisky, yang duduk di sisi lain, sudah menenggelamkan wajahnya di balik selimut. Dan aku? Aku hanya bisa memeluk kenyataan dengan sedikit rasa tidak percaya: akhirnya aku keluar negeri juga. London!

"I’m coming, Big Ben! I’m coming, Prince William!" batinku, separuh serius, separuh bercanda. Ekspektasi terakhir tentu hanya mimpi belaka tapi siapa yang bisa melarang seseorang berkhayal?

Setelah mendarat dan menata barang di guesthouse milik British Council, hal pertama yang kulakukan adalah mengirim pesan singkat ke Edward. Aku hanya ingin memberi kabar bahwa aku sudah tiba dengan selamat di London. Tak lama kemudian, ia membalas:

Ok, find a break and I’ll be ready to hang out with you.

Sepuluh hari di Inggris, ternyata, bukan sepenuhnya untuk liburan. Perjalanan ini termasuk tiga hari perjalanan pulang-pergi dan tujuh hari penuh di London. Dari tujuh hari itu, lima hari sudah dipenuhi agenda study tour, sisanya dua hari bebas untuk kami manfaatkan sendiri. Mendapat kabar itu, aku langsung merasa beruntung, dua hari bebas! Tentu saja Edward akan jadi orang pertama yang kuhubungi.

Daftar study tour sendiri sudah membuat dadaku berdebar: Hari pertama ke Oxford University, hari kedua ke Cambridge, hari ketiga ke Manchester, lalu dua hari terakhir adalah London Tour.

Hari pertama, aku menjejakkan kaki di Oxford. Rasanya seperti mimpi. Universitas dengan reputasi lima besar dunia itu kini berdiri di depan mataku. Sebagai mahasiswa dari kampus swasta yang namanya bahkan nyaris tak terdengar di Jogja, ini seperti sebuah anugerah.

Penjelasan pembukaan dari Head of Public Relations Oxford membuat kami terkagum. Ia banyak berbicara soal kolaborasi internasional, salah satunya melalui International Alliances of Research Universities. Mendengarnya, imajinasiku melayang: bagaimana jika suatu hari aku bisa lolos beasiswa short course dan riset di sini?

Ketika sesi tanya jawab dibuka, dua teman dari universitas negeri ternama langsung melontarkan pertanyaan-pertanyaan cerdas. Aku tidak mau kalah. Kuputuskan untuk bertanya:

"How this institution is going to give us the media to implement our research findings for society and our beloved nation?"

Apakah aku sepenuhnya paham jawaban mereka? Belum tentu. Tapi setidaknya, aku punya keberanian untuk bertanya. Itu sudah cukup membuatku bangga.

Hari kedua di Cambridge membuat mataku terbelalak. Koleksi bukunya begitu luar biasa. Aku teringat masa di Jogja, ketika harus puas membeli buku bajakan The Essential Grammar terbitan Cambridge seharga empat puluh ribu di pasar buku murah ‘Shopping’. Kini aku berdiri di sumber aslinya. Ironi sekaligus kebanggaan kecil terselip dalam hatiku.

Lihat selengkapnya