Hari itu cerah, langit London biru muda dengan awan tipis yang sesekali melintas, seolah ikut merestui pertemuanku dengan Edward. Dia mengajakku bertemu di Hyde Park. Dengan yakin, ia hanya memberi arahan sederhana, tanpa perlu menjemputku. Untungnya aku sudah sempat mengunjungi Hyde Park beberapa hari sebelumnya, jadi sedikit banyak aku sudah hafal arah jalannya.
Jam sepuluh pagi, matahari terasa ramah dan hangat tapi tidak menyengat. Aku berangkat dengan kaos yang kututup hoodie tipis dan bawahan celana jins, gaya paling aman untuk berjalan sendirian. Tas slempang mini-ku terisi benda-benda “wasiat”: dompet, handphone, dan MP3 player. Rasanya, benda-benda sederhana itu seperti jimat yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi.
Sempat terlintas di benakku, betapa beraninya aku jalan sendirian di kota sebesar ini. Sementara Frisky dan Aditya lebih memilih didampingi pemandu, aku justru membiarkan sisi “pembangkang”-ku muncul. Tapi perasaan waswas itu sedikit mereda karena Edward sebelumnya sudah memberi tahu rekannya di British Council: jika aku pergi tanpa rombongan, artinya aku bersama dia. Entah kenapa, kepercayaan itu membuat langkahku terasa ringan.
Dari kejauhan, aku melihat Edward berdiri di dekat fountain Hyde Park. Senyumnya merekah, seolah seluruh taman ikut bercahaya. Saat aku semakin mendekat, ia menyodorkan sesuatu.
“Good morning,” sapanya sambil menyerahkan sebuket bunga lilac putih.
“Thank you...” suaraku lirih, tapi hatiku hangat.
“Where will... mmm, sorry—where shall we go?” tanyaku agak kikuk. Otakku masih terbiasa dengan American English, sementara aku tahu orang Inggris lebih sering menggunakan shall untuk “I” dan “we”.
Edward tertawa kecil. “Bianca, tidak apa-apa kalau kamu pakai American style. Aku tahu kok, sekarang American English lebih global daripada British.” Sikapnya sopan, membuatku merasa diterima.