Setetes air jatuh dari pelupuk mataku, bukan karena sedih, melainkan karena haru. Semua kenangan yang telah kulewati seolah melintas kembali, menyatu dengan bayangan poster Danielle de Barbarac yang kupajang di dinding kamar, dekat ujung tempat tidurku. Senyum gadis itu, tokoh favoritku, masih terasa sama, seolah menguatkan seolah ingin berbisik: "Kamu juga bisa bangkit, Bi."
Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam sore lewat lima menit. Seusai mandi, kuselesaikan sisiran rambut panjangku lalu kupilih jumpsuit warna ungu baby, sederhana tapi elegan. Malam ini ada reuni kampus, sebuah momen yang dulu mungkin kutakuti, namun kini ingin kuhadapi dengan hati yang lebih dewasa.
Edward berjanji akan menjemputku pukul setengah tujuh. Dia tidak keberatan menemaniku, meski sebenarnya acara ini hanya reuni biasa. Baginya, datang ke Jogja punya makna lain, ada tujuan khusus yang membuat langkahnya mantap.
Ketika pintu apartemen kubuka, Edward berdiri di sana dengan kemeja batik lengan pendek bermotif parang. Sederhana, namun justru itulah yang membuatku kagum. Ia tampak gagah, seakan-akan Jogja memang sudah mengenali dirinya.
“I miss you,” ucapku spontan sambil memeluknya erat.
“I miss you too, honey,” balasnya lembut.
Aku tersenyum. “Aku pengen cerita banyak... soal teman-teman baru, kerjaan di kantor, dan rencana-rencana ke depan.”
“Tenang, sayang. Aku ada cukup waktu buat kamu,” Edward mengecup keningku sebelum kami naik taksi menuju tempat acara.