BIANGLALA

SAKHA ZENN
Chapter #2

VARSHA (Hujan)

“Jika Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum, maka Jogja diciptakan saat Tuhan sedang jatuh cinta.”

“Jogja? Kamu yakin Kal?”

Tidak. Entah keberanian semacam apa yang membawaku ingin melanjutkan studi di sini. Kejadian itu terjadi cukup cepat. Ayah dan ibu seolah tidak memiliki alasan untuk mempertahankanku bersekolah di dekat rumah yang setiap hari akan ada salam berpamitan untuk berangkat dan pulang. Mungkin memang terkesan keras kepala, namun tekad yang menjadi modalku ini memang bukan untuk bermain atau “kabur” dari zona nyaman pengawasan orang tua. Jogja sudah menjadi perhatian sejak awal aku mendengar namanya. Entah kenapa aku merasa bahwa di tempat ini aku akan jatuh cinta.

Sendunya awan telah menjadi peringatan seluruh siswa bahwa kemungkinan hujan akan turun sore ini bersamaan dengan jam pulang sekolah. Dan benar saja. Begitu bel pulang berbunyi, rintik gerimis berubah menjadi hujan deras yang mencuri perhatian seisi kelas. Suara-suara yang mulai bertabrakan dan membuat suasana semakin bising mengantarkanku berkemas buku dan alat tulis lainnya. Payung biru bercorak bunga di tepiannya kukeluarkan. Beberapa orang melalukan hal yang sama. Lainnya mengeluarkan jas hujan. Dan sisanya mengeluh karena kemungkinan besar mereka hanya bisa menunggu hujan reda.

“Nggak bawa payung, Ra?” tanyaku pada Sera, teman sebangkuku.

“Lupa! Padahal tadi pagi udah gue siapin. Tinggal dimasukin aja kenapa lupa si?” sesalnya menutup zipper tas dengan kasar.

“Ya udah bareng aku aja,” tawarku mendapat ibu jarinya.

Satu per satu orang pergi. Sunyi mulai merayap bersamaan dengan hujan yang semakin deras. Aku masih duduk di kursiku, sedangkan Sera pergi ke kelas sebelah untuk mengambil sesuatu. Aku hanya menunggu. Namun ternyata kesunyian itu sedikit membuatku canggung. Hanya tersisa aku dengan dirinya. Dia pun masih duduk dengan jemari yang sibuk di layar gawainya.

“Hh …. Tidak ada alasan juga untuk kita saling mengenal,” tuturku dalam hati.

 Netraku mulai tertarik ke arah lain. Umurku baru 15 tahun, tapi kenapa aku begitu menikmati tetesan air hujan dari ujung genting itu seolah dunia yang kujalani begitu berat? Apa karena ketidakhadiran orang tuaku selama tiga bulan terakhir ini? Atau karena penyesalan memilih pergi dari rumah dan datang ke kota ini? Atau memang pada dasarnya aku suka hujan? Entahlah, yang pasti melihat mereka terasa menenangkan.

“Kal, ayo!” Panggilan Sera menggiringku secara tidak sadar kembali melihat ke arah tempat duduknya lagi.

Dia sudah pergi. Mungkin memang sedari tadi hanya aku di dalam kelas ini.

“Iya, Ra.”

Hujan di penghujung September yang begitu tiba-tiba bukan datang tanpa alasan. Seperti kehadiran dirimu yang menurutku tiba-tiba. Bukan. Lebih tepatnya kehadiran dirimu yang baru aku sadari setelah sekian pekan kita berada dalam satu ruangan yang sama. Aku pikir ini bukan suatu ketertarikan, melainkan hanya sebuah kesadaran bahwa kita seharusnya tidak seasing itu.

>>>

Anggap saja kelas 10 kita jalani tanpa ada masalah karena memang tidak ada alasan untuk kita membuat hubungan lebih dari sekedar teman sekelas. Sebelum lebih jauh, aku akan menjelaskan beberapa hal penting. Mungkin umum seperti sekolah lainnya. Para siswa dibagi menjadi dua, anak rumahan dan anak asrama. Dari sini pasti sudah jelas bahwa ada batasan tersendiri bagi anak asrama dalam kesehariannya. Beberapa orang mungkin juga beranggapan dua kubu ini memiliki dinding pemisah yang tinggi, lebih kasarnya adalah level yang berbeda. Atau mungkin sifat menonjol yang dimiliki anak rumahan membuat mereka terkesan lebih bebas. Bebas dalam artian kehidupan mereka yang mewah dan pergaulan yang lebih luas. Itu adalah pemikiran sempit yang sempat kupikirkan. Nyatanya tidak seburuk itu. Kita hidup saling bersandingan dan saling mengandalkan. Jika begitu maka akan terdengar lebih harmonis untuk masa SMA kami bukan?

Satu tahun berjalan cukup baik. Di luar dugaan, aku cukup bisa beradaptasi dengan lingkungan asrama dan sekolah. Segala kesederhanaan dan kebersamaan aku sadari dan jalani dengan sebaik-baiknya. Satu pemikiran yang membuatku bertahan adalah selama aku menjadi orang baik, maka aku akan hidup dengan baik.

“Juara dua dimenangkan oleh Anindya Niskala.” Dinda, seorang kakak kelas satu asrama mengumumkan juara menulis cerita pendek yang diadakan untuk asrama putra dan putri. Pada dasarnya aku memang suka menulis, namun aku tidak berharap lebih karena aku sendiri hanya datang untuk mewakili teman kamar.

“Juara satu dimenangkan oleh Kaindra Devanka. Selamat untuk para pemenang.”

Bagiku, perempuan yang sangat kurang ahli dalam bersosialisasi, seorang Kaindra Devanka adalah sosok yang berhasil menarik perhatianku karena bagaimanapun sangat jarang seorang laki-laki menulis fiksi. Itu pemikiranku dulu, sehingga aku memiliki pandangan lain terhadapnya. Namun apa memang sedini itu dia memulai memutuskan bahwa perasaannya padaku adalah perasaan yang istimewa?

“Kala, Ray, dan Vanya dipanggil Pak Fandi di ruang guru sekarang.” Jerome, seorang ketua kelas XI MIPA 1 memanggil tiga nama itu di lima menit terakhir jam istirahat pertama. Sontak semua diam sebelum kembali ramai beberapa saat kemudian.

“Wih, ada apa tuh dipanggil Pak Fandi lagi?” ledek Sera mendorongku pelan.

“Apa sih Ra?” bantahku yang sebenarnya juga penasaran untuk apa kami dipanggil. Seumur-umur aku tidak pernah melakukan kesalahan di sekolah. Namun begitu menyadari bahwa Pak Fandi adalah guru Fisika, aku lebih penasaran lagi.

“Ayo, Kal!” Ajak Vanya menghampiriku. Vanya adalah gambaran ibu kelas. Suaranya sangat lembut begitu pun pembawaannya. Walaupun tidak ada pengumuman peringkat kelas saat kenaikan kelas sebelumnya, semua orang mungkin satu pemikiran bahwa Vanya adalah pemilik rangking satunya. Dia cerdas, cantik, dan baik hati. Apa itu cukup untuk menggambarkannya?

“Iya, ayo! Mana Ray?”

Lihat selengkapnya