BIANGLALA

SAKHA ZENN
Chapter #3

SENANDIKA (Suara Hati)

Minggu pagi ini dimulai dengan cahaya matahari yang menelisik dari celah di antara dua gorden. Kesadaranku mulai muncul. Suara detik jam dinding membuatku tertarik untuk melihat ke arahnya. Jam setengah delapan. Pantas saja ruang kamar sudah terasa hangat. Matahari sudah setinggi tombak, membuat mataku tidak bisa melihat dengan sempurna saking silaunya. Karena itu aku bangun, beranjak dengan telapak kaki telanjang.

Pertama, kubuka jendela. Angin segar rasanya berhasil menjernihkan kepalaku. Lalu suara burung seolah memelankan kinerja otakku agar lebih rileks dan menikmati melodi yang disampaikan mereka. Tak lama, netra ini kemudian menemukan sebuah tanaman kecil di atas pot telah berbunga. Sekitar dua minggu lalu, aku membeli tunas dengan kuncup bunga mawar biru. Begitu melihat warnanya yang indah dan berbeda dari biasanya, aku tertarik. Mungkin begitu pula saat kita menyukai orang. Kita tidak bisa mengendalikan akan menyukai siapa, namun langsung tertarik kepadanya dengan segala perbedaan. Anehnya, kenapa pikiranku sampai pada arah itu?

“Hhh ….” Hembusan napas seolah bebas bersamaan dengan beban yang tertumpuk selama satu pekan. Ya, karena tim LCC kami lolos babak dua, kami cukup mati-matian belajar. Sempat sekali kami pulang saat senja sudah mengantarkan warna orange-nya di dataran langit. Besok, Senin, babak dua akan dilaksanakan dan berlanjut babak final di hari yang sama. Sejenak aku memikirkannya. Apakah kami bisa?

“Mau dinamain apa ya?” tanyaku pada tanaman kecil berduri itu.

Tiba-tiba dering telepon yang tak asing terdengar, membawaku kembali pada kasurku yang masih berantakan.

“Sera?”

Obrolan kami dimulai di dalam telepon yang akhirnya membuatku sadar betapa pentingnya hari ini.

“Lo nggak lupa kalo hari ini ada latihan cheerleader kan?”

Sebenarnya kalimat tanya itu adalah pengingat, karena aku benar-benar lupa.

Mandi, ganti baju, dan sedikit polesan pada irasku cukup menghabiskan waktu dua puluh menit. Untung saja letak asrama tidak begitu jauh dari sekolah sehingga aku hanya butuh berlari ke sana. Ya, berlari sekitar tiga menit dengan kecepatan penuh.

“Aw!”

Karena hanya tersisa lelah, aku tidak cukup bisa menjaga keseimbangan saat menabrak seseorang dengan tubuh tegapnya. Apa dia tembok? Kenapa keras sekali? Pikiran acakku terhenti begitu sadar siapa yang aku tabrak dengan sembrononya.

“Ray—“

Apa baru kali ini aku melihat dia selain di sekolah? Dia hanya mengenakan pakaian biasa. Celana panjang, kaos hitam, dan hem tanpa kancing. Kenapa dia terlihat berbeda?

“Sorry. Lo nggak apa-apa?”

Dia setengah berjongkok menghadapku. Aku yang sudah terlanjur duduk di bawah hanya merasa terpojok.

“Gue nggak apa-apa.”

“Oke gue bantu berdiri.”

Ray menarik tanganku, membantuku berdiri. Mungkin karena terkejut, otot pergelangan kakiku terasa kaku dan tidak bisa langsung berdiri sempurna.

“Aw!”

“Kenapa? Kaki lo sakit?”

“Hah? Nggak. Gue lagi buru-buru. Duluan ya!”

Kupaksakan kedua kakiku berlari menuju lapangan yang terletak di tengah sekolah. Sekolah cukup sepi karena ini hari Minggu. Mungkin ada beberapa orang yang memang memanfaatkan hari ini untuk berlatih ekskul mengingat sekolah yang sudah aku datangi selama setahun lebih ini memiliki reputasi akademik yang bagus.

“Sorry gue telat,” ujarku begitu sampai di pinggir lapangan sebagai sapaan. Terutama Sera yang langsung memberiku sebuah kode dengan matanya yang membulat dan bibirnya yang bergerak-gerak, namun aku tidak mengerti maksudnya.

“Telat lima belas menit.”

Satu kalimat lolos dengan nada khas yang sangat aku tahu siapa pemiliknya membawa tubuhku berbalik. Dia adalah Puspa, ketua cheerleader baru yang terkenal dengan sikap tegas dan tidak menerima alasan apa pun jika ada yang terlambat. Aku pun tidak bisa mengaku bahwa aku lupa. Kan? Dia menyeramkan.

“Maaf, Puspa.”

“Lo tahu permintaan maaf lo nggak guna kan Kal?” Lipatan kedua tangan di bawah dada dan tatapan matanya yang tajam itu semakin mengintimidasiku. Benar, aku memang salah. Tapi haruskah dia segalak itu?

“Iya.”

“Lari tiga putaran lapangan. Kita latihan lagi setelah lo selesai lari.”

Aku hanya menghela napas. Aku tahu orang-orang menatapku iba, terlebih Sera. Namun latihan mereka hanya akan terganggu jika aku tidak segera menyelesaikan hukuman.

“Semangat Kal.” Sera menepuk bahuku sebelum pergi ke kerumunan. Sedangkan aku siap berlari. Langkah demi langkah membuat satu putaran penuh. Putaran kedua langkahku memelan. Rambut kucir kudaku tidak berayun secepat sebelumnya. Ada yang aneh dengan kakiku. Rasanya tidak nyaman. Apa mungkin karena kejadian tadi? Memang saat itu terasa sedikit sakit. Tapi ayolah! Satu putaran lagi!

Keringat mulai bercucuran, padahal cuaca hari ini sangat sejuk setelah hujan lebat tadi malam. Sepoi angin menabrakku, membuat tubuhku berkeringat dingin. Terpaksa aku berhenti sejenak, mengatur ulang napasku yang mulai tersengal. Kedua tanganku menopang di atas lutut, sedangkan netraku memandang jauh posisi Sera dan lainnya.

“Hhh …. Setengah lagi.”

Kakiku pincang. Kini lebih terasa sakitnya. Dan itu sangat menyiksa.

“Sera.”

Dengan mata buram aku melihat Sera berlari ke arahku. Mungkin tidak sampai lima meter lagi dia sampai padaku, namun semuanya tiba-tiba gelap.

>>>

“Dia bisa ikut perlombaan minggu depan kan, Kak?”

“Lo nggak liat sekarang dia bahkan pingsan, Puspa? Seenggaknya jangan bahas itu sekarang!”

Seorang dokter sekolah yang sebenarnya tidak sedang bekerja dan kebetulan berada di sekolah itu berusaha menenangkan.

“Tenang dulu. Kala pingsan karena kakinya cidera. Bisa juga karena dia kelelahan, atau belum sempat sarapan. Nanti kita lihat lagi perkembangannya ke depan ya. Sekarang biarkan dia istirahat dulu.”

Dokter muda yang biasa disapa Kak Irene itu menggiring Sera dan Puspa keluar UKS. Saat itulah aku membuka mata. Aku mencari ketenangan. Langit-langit bercat putih polos membuat lamunan singkat, sebelum seseorang kembali datang. Bukan Sera, atau Puspa, melainkan Devan.

“Lo udah baikan?” tanyanya tanpa basa basi.

“Hm. Tapi lo tahu gue masuk UKS?”

Devan duduk di kursi samping ranjang tempatku istirahat.

“Gue yang gendong lo bawa ke sini.”

Dia mungkin sadar aku sangat terkejut, tapi dia tetap menjelaskan.

“Gue lihat kaki lo pincang pas lari tadi. Gila si, lo mau lari di saat kaki lo sakit. Kalo aja lo nolak, mungkin luka kaki lo nggak akan separah sekarang.”

Lihat selengkapnya