“Muka lo pucet, Kal. Lo sakit?”
Pertanyaan Vanya menarik perhatian seseorang yang kemarin sudah mengingatkanku untuk minum obat bahkan sebelum terasa sakit. Namun aku masihlah gadis ceroboh yang mudah lupa dan kadang menyepelekan hal-hal kecil. Jadi inilah karmanya. Pagi tadi demamku sampai di angka 38 derajat. Sera yang sudah melarangku berangkat sekolah kuhiraukan, karena hari ini hari yang sangat penting.
“Kaki lo juga kenapa?”
Vanya terlihat lebih khawatir dari siapa pun, termasuk Pak Fandi yang sudah aku kabari sebelumnya bahwa aku akan berangkat ke sekolah sedikit terlambat. Sedangkan netraku menangkap rasa asing yang membuatku menyadari bahwa Ray tengah memperhatikanku dalam diamnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi kenapa aku merasa terintimidasi? Tatapan matanya yang tajam itu membuatku merasa bersalah. Karena aku tidak mengingat dengan baik pesannya kemarin? Atau karena hal lain?
“Gue jatuh kemarin. Tapi aman kok, gue masih bisa ikut lomba,” balasku menenangkan Vanya.
“Kamu harus ingat ya, Kal.” Kini Pak Fandi menarik perhatian kami. “Kalau kamu sudah tidak kuat, bilang saja ke Bapak. Itu tidak akan membuat tim kita tereliminasi,” nasihatnya yang juga menjadi sebuah peringatan.
“Iya, Pak.”
Jarum jam panjang sudah menunjuk angka Sembilan. Lima belas menit lagi waktu pengerjaan babak dua selesai. Kami menggunakan strategi yang sama seperti sebelumnya, mengerjakan soal yang sesuai bidang peminatan masing-masing. Tiga soal tersisa yang belum bisa aku kerjakan. Sekeras apa pun aku berusaha untuk fokus dan memahami masalah yang disajikan, tidak ada rumus yang keluar dari kepalaku. Aku mulai bingung, di sisi lain keringat dingin mulai mengganggu.
Tap.
Sentuhan hangat telapak tangan dan jemarinya yang membalut pergelangan tanganku berhasil menarik perhatian, sesuai dengan maksudnya. Ray yang duduk di antara aku dan Vanya berbicara sangat pelan di dekat telinga.
“Boleh gue coba kerjain?” tanyanya meminta izin yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin dia hanya mencoba menghargai apa yang sudah aku kerjakan selama 45 menit. Sudah kuduga, dia pasti sadar bahwa aku mulai merasa gelisah.
“Hm.”
“Oke. Lo istirahat aja.”
Tiga lembar soal diambil alih olehnya, bertumpuk dengan soal biologi yang sudah selesai dia kerjakan. Kini yang bekerja hanya Ray dan Vanya, sedangkan aku diam, mencoba menenangkan diri dan bertahan hingga menit terakhir. Jemariku saling bertaut di atas meja, kepalaku menunduk, mata kupejam. Beberapa kali keringat mengalir turun dari keningku dan jatuh entah ke mana. Kakiku semakin terasa sakit. Namun itu bukan masalah besar. Aku hanya perlu bertahan sebentar.
“Waktu habis. Semuanya harap letakkan alat tulis di atas meja. Petugas akan mengambil lembar jawab sedangkan lembar soal bisa kalian bawa.”
Dalam hati perasaan lega akhirnya lolos. Aku masih duduk diam, melihat orang-orang mulai beranjak dari kursi yang bergesek dan berdecit di atas lantai.
“Kal?”
“Kal, ayo kita keluar.”
“Iya.”
Bruk!
Baru saja aku bangkit dan mengeluarkan kaki kananku dari celah antara meja dan kursi, sekelilingku buram seketika sebelum berakhir gelap sepenuhnya.
“Kal!”
Pernah sekali aku ingin tahu rasanya pingsan. Apakah sungguh dia tidak merasakan apa pun? Apakah aku masih bisa mendengar? Namun akhirnya hari ini kali kedua aku jatuh pingsan setelah kemarin aku juga tidak sadarkan diri dan berakhir di UKS. Langit-langit berwarna putih yang terlihat asing menjadi pemandangan pertama setelah kubuka mata.
“Kal? Akhirnya lo sadar.”
Suara Ray terdengar lebih halus dari biasanya. Dia satu-satunya yang bersamaku.
“Di mana yang lain?”
“Vanya ada sedikit masalah. Pak Fandi lagi sama dia,” jelasnya sederhana.
“Hm.”
“Lo—“
“Gue baik-baik aja. Maaf ya ngerepotin. Makasih juga.”
Menjadi bagian dari tim, rasanya sedikit kecewa karena tidak bisa melakukan tugas dengan maksimal. Aku bahkan tidak yakin jawaban yang aku buat benar. Mungkin saja banyak nomor yang salah.
“Lo emang susah dibilangin ya?” protes Ray membuatku sedikit terkejut. Nada bicaranya sudah sedikit kembali ke Ray yang aku kenal.
“Hm?”
“Gue kan udah bilang, minum obat lo walaupun belum demam. Lo pasti nggak dengerin gue.”
Apa ini? Kenapa dia jadi … bawel?
“Hah? I-iya. Maaf gue lupa. Kemarin gue belajar sampe ketiduran, jadi gue—“
“Kala.”
“Hm?”
Tatapan kami sejenak terkunci pada satu sama lain. Aku sendiri tidak bisa menilai apa makna tatapan itu, sedangkan irasnya terlihat gelisah. Mungkinkah dia khawatir? Khawatir padaku? Atau Vanya?