BIANGLALA

SAKHA ZENN
Chapter #6

ANGLOCITA (Mengutaran Isi Hati)

Kulirik jam tanganku saat lampu jalan yang berjejer rapi bergantian meneranginya. Sudah pukul 21:13. Aku masih duduk diam di jok belakang, sedangkan Ray memusatkan perhatian pada jalan dan aku sadar saat dia memarkirkan motornya di depan minimarket. Aku hanya berpikir, mungkin ada yang ingin Ray beli sebelum pulang. Aku pun spontan turun dari motor dan diam saja, berniat menunggunya di depan. Sampai dia melepaskan helmku lalu meraih pergelangan tanganku.

“Ayo!” ajaknya.

Haruskah?

Baiklah. Aku ikut saja.

Minimarket cukup sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat sibuk di depan rak-rak. Masih mengikuti ke mana Ray akan membawaku, akhirnya kami berhenti.

“Mau yang mana?” tawarnya. Saat ini kami berdiri di depan freezer es krim. Aku mematung sejenak. Jadi ini maksudnya? Aku mengalihkan pandang padanya dan dia mengisyaratkan agar aku memilih es krim yang aku inginkan.

“Gue suka rasa stroberi.”

Kuambil satu cone es krim rasa stroberi, disusul Ray juga mengambil satu es krim dengan merek yang sama. Hanya saja dia memilih rasa cokelat.

“Kenapa lo mau diajak Devan, Kal?”

Saat ini kami berdua tengah duduk di kursi depan minimarket. Untuk beberapa menit kami diam dan fokus untuk menikmati es krim masing-masing sebelum Ray membuka percakapan. Jalanan masih ramai, namun masih jauh dari kemacetan. Cukup sepi jika dibandingkan suasana beberapa belas menit lalu. Dari sini aku sadar bahwa Ray pandai mencari suasana dan cukup peka.

“Ngga ada alasan gue buat nolak Devan, Ray. Tadi sepulang sekolah dia ngajak ke pasar malem. Kebetulan juga gue udah lama banget ngga ke sana, jadi—“

“Jadi lo iyain gitu aja?” potong Ray.

“Tapi Ray.”

Entah kenapa aku ingin memberi pembelaan untuk diriku sendiri.

“Hm.”

Dia marah?

“Kenapa kalian ngga bisa akur sih? Gue ngga merhatiin sebelum-sebelumnya, tapi semenjak gue kenal kalian berdua, kalian seperti ada masalah pribadi.”

Entah pertanyaan ini keluar di saat yang tepat atau tidak, tapi aku tidak bisa mencari kesempatan lain untuk bertanya.

“Dia ngatain gue gimana sampe lo bilang gitu, Kal?”

Mampus. Benar juga. Sejauh ini yang terlihat adalah Ray yang tidak suka Devan, bukan sebaliknya.

“Gue—“

“Ya?”

Sekali lagi, Ray sangat pandai mengatur suasana. Sekarang bahkan aku yang terpojok olehnya. Cukup dengan satu kata itu, dia bisa mengira keraguanku.

“Devan ngga jelek-jelekin lo di belakang kok. Cuma gue sama Devan pernah nyinggung masalah Puspa dan nama lo disebut. Devan bilang lo pernah keluar dari gudang, tepat sebelum Puspa juga keluar dari tempat yang sama. Gue juga ngga tau sejauh mana Devan kenal lo, atau gue sekalipun. Karena dia ketua OSIS, jadi mungkin dia diam-diam memantau kita. Mungkin Devan cuma belum kenal lo makanya dia sedikit jaga jarak dan kesannya dia ngga suka lo.”

“Kalo menurut lo, gue gimana Kal?”

Yang benar saja. Apa itu pertanyaan yang tepat sekarang?

“Setelah lo denger berita itu dari Devan yang bahkan ngga tau kebenarannya, apa yang lo pikirin tentang gue?”

Meski beberapa kali netraku bergantian menatap ke arah jalan dan dirinya, aku yakin seratus persen, Rey sedang memusatkan perhatiannya padaku. Tidak beralih sedetik pun. Jawaban seperti apa yang dia harapkan? Namun jujur saja, pertanyaan itu memang membuatku bingung. Saat itu, apa yang aku rasakan? Gelisah. Aku tidak menyukainya. Kenapa?

“Gue … ngga tau. Gue juga ngga berada di posisi buat menghakimi. Tapi tenang aja, gue ngga ember kok orangnya. Lo juga udah baik ke gue, jadi gue akan jaga berita itu. Ah, es krimnya meleleh.”

Canggung. Sebenarnya dalam hati aku ingin Ray menjelaskan kejadian itu. Apakah benar? Bagaimana bisa? Tapi aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Bisa saja Ray sebenarnya memiliki hubungan dengan Puspa. Siapa yang tahu?

“Anindya Niskala.”

Otakku serasa membeku, seperti ujung lidahku yang semakin dingin karena aku memaksakan untuk segera menghabiskan es krim milikku. Lupakan tentang es krim milik Ray, itu sudah sirna sebelum dia memulai percakapan yang berujung canggung ini. Spontan netraku menangkap dua manik kecokelatan itu. Suara rendah yang menyebut nama lengkapku itu, kenapa begitu menarik perhatian?

“Hm?”

Lihat selengkapnya