Aku pikir aku cukup percaya diri, ternyata tidak. Setelah Ray menyatakan perasaannya malam itu, aku membuat perjanjian dengannya untuk tidak membiarkan orang-orang tahu tentang hubungan kami. Kenapa? Bukannya aku tidak merasa bahagia, tapi apakah rasa cinta itu benar membuatku malu? Aku tidak menemukan kata yang tepat untuk menyimpan deskripsinya.
“Jadi kenapa Kal? Kenapa orang-orang nggak boleh tahu tentang hubungan kita? Hm?”
Setelah menghabiskan dua mangkok bubur ayam pagi itu, pembahasan ini aku pilih.
“Ngga tahu, Ray. Gue cuma mau hubungan kita lebih privat,” jawabku menunduk lesu, masih dengan sisa bubur di dalam mulutku.
“Lo masih takut sama pandangan orang-orang, Kal? Kalo gitu gue akan perjelas lagi. Sejak kemarin gue udah memutuskan bakal prioritasin lo, Kal.”
Aku menggeleng pelan.
“Atau lo malu karena gue, Kal?”
Mataku melebar menatapnya.
“Iya tahu gue belum bisa jadi pacar yang bisa dibanggakan sampe lo nggak mau mengakui beradaan gue. Maaf ya—“
Apa ini?
KENAPA DIA MEMASANG WAJAH SOK IMUT SEPERTI ITU?! BIBIR MONYONG ITU! SEJAK KAPAN DIA BELAJAR MENYAKITI JANTUNGKU! ARGH!!!
“Uhuk! Uhuk!”
“Eh, pelan-pelan makannya sayang ….”
Spontanitas yang cukup bagus. Ray segera menyodorkan air minum, sedangkan satu tangan lainnya menepuk-nepuk punggungku. Dia yang mengaku gila karenaku sebelumnya. Sekarang apa dia mau balas dendam?
“Gue nggak papa. Makasih.”
Lalu sunyi. Bubur ayam yang masih tersisa setengah mangkok ini, apakah ada bumbu lain yang masuk? Kenapa rasanya berubah? Lagi pula, kenapa dia jadi bungkam seribu bahasa?
“Kasih gue waktu sampe UAS semester ini, Ray. Boleh?” tanyaku akhirnya. Entah apa yang aku pikirkan sehingga mencapai keputusan itu. Sampai UAS? Hanya tersisa sekitar satu bulan lagi. Apakah ada perbedaan sekarang atau nanti?
“Setelah itu orang-orang boleh tahu?”
Aku mengangguk dengan yakin.
“Oke. Gue hargai keputusan lo, Kal.”
>>>
“Kal.”
“Hm?”
Saat aku tengah menikmati jus mangga, Sera mencolek lenganku, mengarahkan mataku pada seseorang di kejauhan.
“Lo merasa ada yang aneh nggak sih sama Ray?” tanyanya penuh curiga.
Aku pun berlagak fokus dengan menyipitkan mata hingga dahiku berkerut.
“Enggak. Masih Ray yang gue tahu.”
Aku kembali pada jus mangga favoritku setelah jus stroberi.
“Ish! Serius Kal! Nggak tahu ya, tapi akhir-akhir ini dia kelihatan bahagia banget. Dan beberapa kali gue liat dia merhatiin lo tuh. Lo nggak merasa apa-apa, Kal? Siapa tahu lo punya utang ke dia?”
Bibirku tidak kuasa menahan senyum. Kenapa ujung-ujungnya utang?
“Ngga ada ide lain selain utang, Ra? Ya kali gue utang ke dia. Mending ke lo aja, nggak berbunga. Kalo ke dia pasti berbunga-bunga.”
Ups.
“Iya, kan? Sorry, sorry. Lagian aneh banget sih! Bikin orang mikir aja!”
Dalam hati ada rasa bersalah karena aku menyamakan Sera dengan orang lain. Namun untuk saat ini, itu adalah keputusan terbaik. Rasa yang baru aku pelajari beberapa hari ini, entah terlalu tiba-tiba atau tidak, tapi itu cukup membuatku gelisah.
Tidak ada hal istimewa yang terjadi di sekolah dua minggu kemudian. Ray berhasil menjaga kepercayaanku dengan tidak terlalu memperlihatkan bahwa kami memiliki hubungan spesial. Dia hanya mencuri-curi kesempatan seperti memberi cokelat diam-diam, menggandeng tanganku saat memesan makanan kantin di tengah keramaian, dan mengambil waktu di akhir jam olahraga untuk membereskan semua peralatan bersamaku, sesuai perjanjian tentu saja. Sedangkan dua minggu menjelang ujian akhir semester, dia mengajakku belajar bersama setiap pulang sekolah.
“Jadi, kan?” tanyanya tertulis di kolom chat.
“Iya,” balasku singkat.
“Gue tunggu lo di toko kuning depan sekolah.”