BIANGLALA

SAKHA ZENN
Chapter #8

RENJANA (Rasa Hati yang Kuat)

Satu minggu telah berjalan. Setiap harinya aku sampai di kamar pukul delapan malam, begitu pula hari ini. Dan seperti biasa, Sera tengah rebahan, namun kali ini dia melakukannya di ranjang milikku. Dia menyambutku dengan tanpa lirikan sedikit pun.

“Kemaren lo bilang mau masuk parallel 3, jangan-jangan lo berubah pikiran, Kal?” tanyanya santai, sedangkan aku mulai sibuk menyimpan tas, melepas jaket beserta dasi dan kaus kaki.

“Kalo iya gimana, Ra?” kataku balik bertanya. Senyuman tipis tak absen dari bibirku. Itu adalah candaan Rey di kafe tadi. Sesuatu telah menggelitikku hingga asrama.

“Gue nggak minta lo ngajarin gue kok, Kal. Traktir aja minimal,” tuturnya mengambil posisi duduk. Gawainya sudah tidak cukup menarik perhatiannya dan beralih padaku. Wajahnya tiba-tiba berubah serius.

“Kal.”

“Hm?”

“Lo jujur deh sama gue!”

“Hm? Tentang?”

“Lo ….”

Sera menarik dua pundakku. Dia seserius ini, apakah dia mengetahui tentang hubunganku dan Rey?

“Lo lagi deket sama Devan kan?”

WHAT?

“Lo bilang apa, Ra? Gue sama Devan? Deket?”

“Emang ngga?”

“Engga tuh!”

“Oh.”

Kesunyian hinggap sejenak di dalam ruang kamar kami hingga aku bertanya.

“Lo kok bisa mikir gitu, Ra?”

“Kepo kan lo!”

“Ish!” Reflek aku mencubit lengannya. “Serius, Ra. Gue takut orang lain juga berpikiran sama kayak lo, padahal gue sama Devan biasa aja,” terangku agar Sera paham, namun bukan Sera jika menemukan celah untuk menggodaku.

“Takut? Karena lo lagi berusaha jaga kepercayaan orang lain kan, Kal?” tanyanya semakin membakar emosiku. Parahnya dia memang benar.

“Sera ….”

“Oke, oke. Jadi tadi pulang sekolah Devan nemuin gue di depan kelas. Dia nyanyain lo, Kal. Muka dia kayak merasa bersalah gitu. Pokoknya dia nggak kayak biasanya pas nyebut nama lo,” jelas Sera. Dan benar, sejak kejadian di pasar malam, aku tidak pernah sekalipun bertemu Devan. Jika penilaian Sera benar, apakah Devan memang masih menyimpan rasa bersalahnya?

“Lo lagi berantem sama dia, Kal?” Sera bertanya lagi.

“Enggak kok, Ra. Lo inget pas gue ke pasar malem waktu itu kan? Jadi ada insiden pas gue naik bianglala, Ra. Mesinnya tiba-tiba mati pas gue ada di paling atas. Pokoknya gue sampe nangis ketakutan.”

Wajah Sera kini terlihat mulai berempati padaku.

“Gue yang pengin naik, tapi Devan nggak bisa nemenin. Dia merasa bersalah aja karena itu, dan gue belum ketemu dia lagi.”

Penjelasanku berakhir di situ, dan Sera kehabisan kata-kata.

“Hm ….”

Sera menggeser tubuhnya dan memelukku.

Sorry ya, Kal. Lo pasti ketakutan banget pas itu. Andai aja gue ikut ke sana, pasti gue—“

“Lo juga bakal ikut nangis, kan?” sambungku, dan kami berdua sama-sama tersenyum.

“Gue sedikit paham si gimana perasaan Devan. Di posisi dia yang ngajak lo ke sana, tapi dia ngga bisa buat lo tetep aman. Anyway, lo nggak papa kan, Kal?”

Aku menggeleng kecil. “Gue nggak papa, Ra. Nggak ada lecet. I am okay.”

Lihat selengkapnya