BIANGLALA

SAKHA ZENN
Chapter #9

SANDYKALA (Cahaya Merah saat Senja)

Selama satu minggu penuh ujian semester diadakan. Ketegangan memenuhi setiap sudut sekolah sejak hari pertamanya. Kebisingan hanya terjadi saat jam pulang sekolah. Menggunakan metode acak, ruang pengerjaan ujian kelas 11 MIPA 1 bercampur dengan kelas XII IPS 1. Sandy, seorang kakak kelas yang duduk di kursi depan mejaku selalu memakai celah untuk mengajakku berbicara. Dia ramah dan aku pikir dia salah satu siswa teladan sekaligus favorit banyak orang di sisi lain ada Devan dan Rey di kelas sebelas. Dia adalah mantan ketua OSIS. Tak heran jika dia gampang bergaul.

“Udah siap ujian hari ini, Kal?” tanyanya sekaligus menyapa. Dia baru memasuki kelas dan langsung duduk menyamping. Jam tangan analog hitam menarik perhatianku. Dia meletakkan lengan kanannya di atas meja, menutup tumpukan buku yang sudah aku siapkan untuk belajar lagi sebelum ujian pelajaran jam pertama dimulai.

“Iya. Tapi gue mau belajar sebentar lagi,” jawabku, sedikit menyindir agar dia mengalihkan lengannya.

“Ah, oke.” Dia tertawa kecil. “Good luck, Kala.”

Mejaku berada di barisan paling belakang, sudut ruangan, dekat dengan jendela. Saat-saat istirahat, aku hanya menggunakan waktu untuk belajar. Seserius itu aku dengan ujian ini. Mungkin pikiranku juga telah terpengaruh oleh tekad Ray tentang juara satu dan dua parallel. Secara tidak sengaja tekad itu memberi semangatku untuk belajar.

“Nih, Kal. Gue kayaknya bakal kalah dari lo ya.”

Saat jam istirahat kedua, Kak Sandy kembali dari kantin, membawakan yogurt stroberi dingin untukku. Aku sendiri yang tentu sedang belajar teralihkan beberapa waktu karena menyadari sebotol yogurt hadir di atas meja.

“Gue juga dulu ambis banget. Pas ujian akhir kenaikan kelas, gue pernah rangking parallel satu. Lo percaya nggak?” tuturnya menyombongkan diri namun dengan penuturan yang sangat halus. Aku diam, masih mengolah sejarah yang telah terjadi. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari ada nama Sandy.

“Nama panjang lo siapa Kak?” tanyaku akhirnya. Ada memori kecil yang terselip di kepalanya.

“Sandykala Dean Davendra.”

Spontan mataku membulat. Tanganku menyatu di depan mulutku yang menganga. Benar. Setelah mendengar nama itu, ingatanku kembali pada dua tahun lalu. Sebelum memutuskan untuk ke Jogja, aku telah menjadikan SMA Garuda sebagai target pendidikanku. Salah satunya adalah Sandykala Dean Davendra. Nama itu terpampang jelas berikut foto dirinya. Di bawah nama itu tertulis “Juara 1 Lomba Essai Business Plan Tingkat Internasional”, “Juara 2 Taekwondo Junior Cup”, dan “Juara 2 Olimpiade Geografi Nasional”.

“Gila!” komentarku keceplosan, namun sangat mewakili penilaianku terhadapnya.

“Gue? Gila?” Di tempat duduknya, dia memasang wajah heran. Tentu saja. Aku juga tidak percaya aku mengucapkan kata itu padanya.

“Hm.” Aku mengangguk. Bodoh.

“Bukan. Bukan itu maksudnya. Gue dulu pernah liat foto Kak Sandy di brosur penerimaan siswa baru,” jelasku gelagapan. Untung saja otakku masih bisa berfungsi.

“Jangan-jangan lo masuk sini karena ada gue?”

Apa iya?

“Gimana setelah ketemu langsung? Orang-orang bilang gue ganteng, tinggi, pinter. Mantan ketua OSIS juga, ikut ekskul taekwondo, tempat orang-orang keren.”

Dia terus mengabsen gambaran dirinya dengan penuh percaya diri. Untung saja itu adalah kenyataan, bukan hanya bualan.

“Lo lagi jual diri Kak?”

Dia langsung tertawa keras. Kelas masih kosong, hanya ada kami berdua. Tawanya langsung membuat seisi ruangan ramai.

“Lucu banget lo, Kal. Nggak, gue nggak bermaksud. Gue cuma salut sama lo yang belajar terus, jadi inget dulu gue juga kayak lo.”

Akhirnya dia kembali seperti Sandy yang beberapa hari ini aku kenal. Nada bicaranya tenang dan senyum tak pernah hilang dari wajahnya.

“Sekarang?”

“Sekarang … Gue lagi fokus nyiapin diri buat ujian kelulusan. Gue ikut les di luar, nyari info kampus, sama beasiswa.”

Lihat selengkapnya