Hari terakhir ujian akhir semester usai. Sekolah mendadak ramai. Itu jelas karena dua hal, pertama karena masa ujian yang menguras banyak energi dan konsentrasi telah berakhir. Kedua, karena setelah minggu bebas, liburan panjang akan datang. Aku mulai berbenah saat langit mulai mendung.
"Kal, lo mau ambil liburan besok di rumah?" tanya Kak Sandy tiba-tiba. Kulihat dia sudah membereskan semua barangnya. Mejanya kosong.
"Mm ... belum tahu, Kak. Kenapa?"
"Tanggal 28 ada seminar umum tentang bisnis di Universitas Ganesha. Kalo lo mau ke sana, gue bisa temenin. Kebetulan ada kenalan gue juga yang jadi panitia di sana."
"Sumpah? Ah, sayang banget kalo lewatin kesempatan itu."
Jika dihitung, tanggal 28 menjadi hari kelima liburan semester. Akan sedikit membuang tenaga dan biaya jika aku langsung pulang pada hari pertama liburan kemudian kembali lagi untuk menghadiri seminar. Tapi setelah bertemu sosok Kak Sandy, ada sesuatu yang membakar tekadku untuk segera merancang masa depan. Aku sangat tertarik dengan dunia bisnis, namun aku belum menemukan bidang apa yang akan aku tekuni.
"Gimana, Kal?" tanya Kak Sandy lagi meminta kepastian.
"Gue belum bisa mastiin, Kak. Gue harus bilang ke papa sama mama dulu," jawabku akhirnya. Bagaimanapun aku juga ingin segera bertemu dengan mereka.
"Mm .... Boleh pinjam pulpennya?"
Kak Sandy mengambil pulpen dan menulis sesuatu di lembar teratas sticky note milikku setelah aku mempersilahkan.
"Ini nomor gue. Kalo udah ada keputusan, lo bisa kabarin gue. Oke, Kal?"
Satu kata Sandy dan deretan angka di bawahnya aku terima. Benar, selama satu pekan terakhir kami tidak bisa terlalu asing lagi.
Aku akhirnya mengangguk.
"San! Ayo! Yang lain udah di lapangan!"
Seorang kakak kelas tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Oke!" balasnya dengan suara yang sama-sama tinggi.
"Kalo gitu gue duluan ya, Kal. Gue ada janji main basket sama anak-anak," pamitnya kemudian.
"Iya, Kak."
Akhirnya dia melipir keluar kelas menemui temannya dengan tas gendong yang membebani satu pundaknya. Dan belum lama setelah kepergiannya, seseorang muncul. Dia adalah Devan. Setelah diingat-ingat, aku memang sudah lama tidak bertutur sapa dengannya.
"Kal. Gue ganggu nggak?" tanyanya. Benar kata Sera, wajahnya murung. Padahal sudah dua minggu lebih telah berlalu. Apa dia masih merasa bersalah?
"Nggak, kok."
Apa jawabanku terlalu singkat?
"Gue mau minta maaf, Kal."
Dia masih berdiri. Aku melihat dua tangannya menggantung, sedangkan jemarinya mengepal ragu.
"Lo nggak perlu terlalu merasa bersalah, Dev."
Aku berdiri dengan tas ransel yang sudah kugendong di belakang punggungku. Arah matanya mengikuti wajahku, dan akhirnya kami bertatap muka.
"Gue nggak apa-apa, kok. Kejadian itu udah cukup lama. Gue juga minta maaf karena ninggalin lo malam itu."
Kata-kata itu keluar karena seseorang telah berdiri di tengah pintu, melihat kami berdua. Sebelum dia cemburu, aku harus segera menyelesaikan percakapan ini.
"Lo teman yang baik, Dev. Makasih ya udah ngajakin gue ke pasar malam waktu itu. Gue cukup terhibur."
"Iya, sama-sama, Kal. Gue sebenernya—“
"Gue harus pergi sekarang, Dev. Ray udah nungguin gue."
Wajahnya tiba-tiba menegang setelah nama Ray keluar dari mulutku. Lalu dia berbalik dan menemukan keberadaan Ray.
"Ah, oke."
"Gue pergi dulu, Dev."
Sikap dinginku pada Devan bukan tanpa alasan. Pertama, karena Ray tidak menyukainya. Kedua, karena perkataan Sera yang membangun kesadaranku. Tentang Devan yang mungkin memiliki perasaan lebih untukku. Jika benar, aku hanya ingin membuat batasan. Jelas, kami adalah teman. Hanya sebatas itu.