Wajahku masih memerah saat kembali ke asrama. Setelah turun dari motor, aku berjalan setengah berlari menuju kamar. Jantungku masih berdegup kencang meski kejadian itu sudah berlalu.
"Kal, duduk!"
Sera. Setibanya aku di kamar, dia memasang wajah datar dengan kedua tangan terlipat di bawah dada. Aku hampir gila karena perasaanku sendiri, tapi akhirnya berakhir lebih cepat karena suasana yang Sera ciptakan di seisi ruangan.
"Kenapa, Ra?"
Aku menurutinya, duduk di tepian ranjang menghadapnya.
"Sejak kapan lo jadian sama Ray?"
O.OW.
Wajahku berubah panik, sedangkan Sera semakin berkuasa di tempatnya setelah membuatku tersudut.
"Sera, gue bisa jelasin—“
"Gue cuma tanya kapan, Kal," potong Sera. Jika sudah seperti ini, aku tidak akan bisa mengalihkan perhatiannya.
"Sebelum ujian," jawabku singkat.
Sera menghembuskan napasnya kasar. Dia terlihat muak.
"Seminggu sebelum ujian? Atau sebulan sebelum ujian?"
Akhirnya aku melompat ke ranjangnya, duduk bersila menghadapnya.
"Sera, nggak selama itu kok. Gue juga mau cerita ke lo, tapi gue bingung gimana caranya."
Sera bahkan membuat suara seolah dia telah lelah menghadapiku saat membuang napasnya. Aku tahu, aku telah membuatnya kecewa. Setelah persahabatan yang cukup lama dan sudah saling berbagi cerita tentang apa pun, Sera pasti marah saat aku tidak menceritakan hal sebesar ini padanya.
"Sejak kapan, Kal?" Dia bertanya lagi.
"Sejak ... dari pasar malam. Dia nembak gue pas pulang dari sana." Akhirnya aku jujur. Aku menunduk kemudian, takut-takut melihat reaksi Sera yang seperti akan menerkamku.
"Setelah lo jalan sama Devan, tapi pulang sama Ray. Gue tebak Ray yang suka duluan sama lo. Bener, kan?"
Aku masih diam.
"Walaupun nggak sekelas, rumor udah merajalela satu sekolah. Dengan bodohnya orang jodoh-jodohin Ray sama Vanya. Dia pinter juga ya, diam seolah mengiyakan."
Sekarang aku tidak bisa menilainya sedang marah atau tidak. Apa dia sedang memuji kecerdasan Ray? Geram dengan kepolosan Vanya? Atau memaki kebodohan orang-orang yang turut menyebar rumor satu sekolah.
"Sera, sorry gue nggak cerita sama lo dari awal." Aku menarik kedua tangan Sera dan menumpuknya jadi satu.
"It's okay, Kal. Gue nggak marah. Gue cuma khawatir sama lo."
"Khawatir?"
"Lo harus lihat ini!"
Sera menunjukkan sebuah foto di layar gawainya. Foto itu dengan jelas memperlihatkan saat aku dan Ray berdiri dengan jarak begitu dekat, saat Ray mencondongkan tubuhnya padaku, lalu saat aku naik motornya dan pulang sekolah bersama. Hal itu memang membuat keadaan akan menjadi runyam. Tapi ada sedikit rasa lega karena bukan foto lain yang tertangkap kamera.
"Hh .... Gue udah menduga hal yang gue takutin bakal terjadi cepat atau lambat, Ra. Gue nggak tahu harus seneng atau sedih setelah pacaran sama Ray. Lo liat aja, siapa yang nggak suka dia?"
Sera lalu tersenyum licik. Dia seharusnya ikut casting untuk menjadi aktor. Raut wajahnya seolah memiliki subtitle. Tanpa berkata, orang-orang bisa tahu ekspresi apa yang dia coba keluarkan.
"Lo mau tips dari gue, Kal?"
"Hm? Tips?"
"Manfaatin Ray sebaik mungkin. Emang bener, banyak orang yang suka sama Ray. Tapi lo tahu, kan, kalo aura Ray itu mahal banget. Suka si suka, tapi pada nggak berani deketin. Lo paham maksud gue, Kal? Inget, lo itu pemenang!"
Tidak sampai lima menit yang lalu dia marah, sekarang justru memberi tips segala. Tapi memang benar, aku adalah pemenangnya bukan? Di saat aku bahkan tidak menunjukkan perasaanku secara gamblang seperti siswi-siswi lain, dia justru yang lebih dulu mendekat. Tapi apakah aku bisa?
Asrama semakin sunyi begitu malam makin gelap. Jam menunjuk pukul sebelas, namun dua sahabat sekamar yang tak lain adalah aku dan Sera, belum menutup mata. Tentu bukan untuk bermain, apalagi belajar. Sera asyik menjelajahi media sosial, sedangkan aku sibuk berbalas pesan dengan Ray. Di luarnya saja cowok itu terlihat cool, petantang-petenteng, tapi begitu sampai di room chat, bahasa yang dia gunakan sungguh berbeda. Bucin total. Parahnya lagi dia sering menggunakan stiker-stiker lucu yang sangat bertolak belakang dengan image-nya. Aku pun harus tiduran dengan membelakangi Sera, agar dia tidak menangkap basah aku yang senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
"Gud nait, sayangnya aku (emot love)"
Itu adalah pesan terakhir dari Rey sebelum malam kami ditutup dengan tidur.
>>>