"Jambret .... Tolong ... tolong ... tolong ...!" Cendana teriak sekencang-kencangnya, mengabaikan luka di siku karena terbentur di aspal.
Pulang-pergi sekolah Cendana selalu lewat di jalan itu, dan belum pernah kenapa-kenapa. Tapi pagi ini tiba-tiba saja lelaki bertubuh tinggi kurus menarik paksa tas selempangnya hingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dari sepeda. Belum sempat Cendana menyingkirkan sepeda yang kini menimpa tubuhnya, si penjambret sudah tidak terlihat. Hal itu membuat gadis berseragam putih abu-abu itu panik, terlebih setelah teringat benda penting di dalam tas biru pucat kesayangannya itu.
Cendana mengedarkan pandangan, berharap seseorang memberikan pertolongan. Namun sepagi ini jalanan masih lengang, dan pergerakan penjambret itu teramat gesit. Cendana mulai menangis. Rasanya terlalu berat untuk mengikhlaskan tas beserta isinya itu hilang begitu saja. Ia ingin mengejar. Tapi selain berbahaya, ia sama sekali tidak tahu harus mengejar ke arah mana.
Dalam sedu sedan, pemilik tahi lalat di dekat bibir itu bangkit beserta sepedanya. Ia membersihkan sisi kiri tubuhnya yang berdebu karena jatuh terbaring dalam posisi menyamping. Ia melirik darah segar yang menghiasi luka di sikunya sebelum mulai berjalan menuntun sepedanya. Ia memilih tidak mengendarainya dalam kondisi masih shock.
Setelah beranjak beberapa meter dari posisi jatuhnya tadi, langkah Cendana dihadang oleh seorang cowok yang tiba-tiba menghentikan sepedanya dengan posisi melintang. Karena baru saja menjadi korban kejahatan, wajar jika Cendana tersentak hingga mundur beberapa langkah.
"Jangan takut. Aku hanya ingin balikin ini." Cowok berkemeja putih yang lengannya digulung hingga siku itu menyodorkan tas selempang berwarna biru pucat. Napasnya agak tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat.
Cendana menurunkan kickstand sepedanya lalu mendekat untuk menerima tasnya. Ia lekas memeriksa isinya, lalu tampak sangat lega setelah menemukan selembar kertas yang memiliki banyak bekas lipatan dan tampak lusuh. Cendana mendekap kertas itu seraya menarik napas panjang-panjang, pertanda betapa berharganya benda itu untuknya.
"Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih!" Cendana berucap kepada cowok yang telah menyelamatkan tasnya sambil membungkuk.
"Sama-sama. Untung masih keburu," balas cowok hitam manis itu setelah meredam rasa heran melihat gadis di depannya yang tampak sangat peduli pada selembar kertas lusuh, sampai-sampai ucapan terima kasihnya berkali-kali. Melihat kepanikan Cendana saat memeriksa isi tasnya tadi, anggapan cowok itu benda berharga semacam ponsel atau dompet yang dipastikannya, tahu-tahunya hanya selembar kertas.
"Lain kali lebih hati-hati kalau lewat sini."
Cendana hanya mengangguk. Ia mengembalikan kertas tadi ke dalam tasnya, lalu berbalik menghampiri sepedanya.
"Tunggu!" Suara cowok itu sempurna mengunci langkah Cendana.
Cowok itu mendekat setelah Cendana memutar badan.
"Sikumu berdarah."
Cendana bahkan lupa dengan luka itu. Yang penting tasnya sudah kembali. Ia memeriksanya ketika cowok itu sudah mengeluarkan tisu dan plester luka dari ransel abu-abunya. Tanpa permisi cowok itu meraih lengan Cendana, menyeka darah di sikunya, lalu memasanginya plester luka. Sepanjang proses itu Cendana punya peluang memerhatikan lekuk wajah cowok itu dalam-dalam. Alisnya tebal. Rahangnya tegas. Hidungnya memang tidak terlalu mancung, tapi pas untuk ukuran cowok. Dan bibirnya ... entah bagaimana harus membahasakannya. Tahu-tahu Cendana ingin menatapnya lebih lama. Sayang, kesibukan cowok itu dengan sikunya tak sampai semenit.
"Kalau dibiarin takutnya infeksi." Cowok itu berucap sambil mengembalikan sisa tisu ke ranselnya.
"Terima kasih."
"Sama-sama." Cowok itu tersenyum manis. Ralat, terlampau manis untuk sepagi ini, membuat Cendana kesulitan menarik napas hingga wajahnya terlihat aneh. Sepanjang cowok itu tersenyum, jantung Cendana berdetak aneh, belum pernah semisterius ini. Hatinya mendadak berbunga-bunga. Ada apa ini?
"Ya udah. Aku duluan, ya." Kalimat pamit cowok itu mengangkat Cendana dari perasaan entah yang membuat damai seolah berpusat padanya di sepersekian menit sebelumnya.
Cendana hanya mengangguk seraya tersenyum.
Setelah cowok bercelana bahan itu mengayuh sepedanya dan mulai menjauh, Cendana baru kepikiran untuk menanyakan namanya. Tapi ... ah, sudahlah. Kini ia hanya bisa memandangi punggung pahlawannya semakin menjauh, dan menikmati sensasi yang ditimbulkan oleh sikap melindungi dan penuh perhatiannya.