Ketika hujan turun, kebanyakan manusia akan menepi untuk menunggu berhenti, entah kapan. Namun, semua manusia akan berteduh dari hujan walau seberharga apapun tujuan berjalan, manusia hanya akan pasrah dibawah hujan. Hujan memang sekuat itu, jatuhnya ke bumi pun membuat ada manusia yang menjadi pawang hujan yang dibeli jasanya karena jatuhnya hujan tidak termasuk dari hujan, jika turun di acara besar seperti pernikahan, biasanya manusia yang hadir bersedih, murung, dan enggan tersenyum. Hujan seolah menggagalkan rencana manusia, bahkan tak sedikit manusia yang kehilangan nyawa bersamaan di waktu rintiknya hujan membasahi permukaan. Entah itu hujan yang jahat atau takdir yang jahat, yang pasti menurutku hujan bukan bagian dari takdir yang bisa turun kapan saja, tidak seperti air yang takdirnya mengalir pun pada bak yang memiliki daya tampung.
Aku tersenyum mendengarkan bagaimana Karim memfilosofikan keadaan yang ada di sekitarku untuk menemaniku menunggu hujan reda dari jarak jauh dengan telepon yang sudah menghabiskan waktu satu jam.
“Hujan di sana belum reda saja, Laila?”
“Sepertinya sebentar lagi akan reda.”
“Gimana kalau sampai malam belum reda?”
“Nanti aku pesan taxi.”
Karim terdengar lega. Biasanya aku paling tidak ingin mengeluarkan ongkos untuk pulang, aku lebih memilih menghabiskan waktu untuk berjalan. Bukan hanya karena jarak antara kampus dengan kontrakan yang dekat, tapi Karim menggantikan kehadiran fisiknya di sampingku dengan menemani lewat telepon. Tidak peduli seberapa jauh aku harus berjalan, semua terasa lebih menenangkan dikala aku mengusahakan ini untuk hubunganku bersama Karim. Hubungan yang sudah berlangsung selama dua tahun dengan cara bertelepon, karena kami tak pernah bertemu sama sekali.
Disebutnya Long Distance Relationship yang disingkat LDR. Aku dan Karim menjalani hubungan ini tanpa pernah putus sekali pun, entah apa yang membuat kami bisa begini, yang pasti air yang mengalir bisa menjelaskan hubungan kami. Baik aku maupun Karim, kami bersama-sama menjalani kehidupan di atas air yang membawa kami, memang belum sampai, kami masih berlabuh mencari tempat dan waktu yang akan mempertemukan kami. Nanti.
“Kar, baru reda.”
Karim terdengar menghela nafas, “Akhirnya, gak perlu ngeluarin ongkos, deh.”
Aku tersenyum, melanjutkan percakapan sembari berjalan pulang dengan menceritakan bagaimana kegiatanku di kampus hari ini. Tentang bagaimana dosen yang tidak masuk tapi memberi kuis 50 soal, makanan di kantin sedikit karena hujan sudah turun dari siang, dan temanku Cika yang punya teman baru dari jurusan lain bernama Panji Gunawan.
“Jurusannya sama kayak kamu tahu, Sastra Bahasa Indonesia.”
“Oh ya? Lalu bagaimana caranya berbicara?” tanya Karim antusias.
Aku sebentar diam, “Hmmm.. seperti kamu sedikit, tapi aku kurang yakin soal itu.”
“Kurang yakin bagaimana?”
“Sepertinya Cika menyukai Panji.”
“Kan Cika berpacaran dengan Dani.”
“Iya, tapi suara Panji memang mengagumkan seperti sambil menyairkan puisi.”
“Kalau begitu, kamu juga perlu hati-hati, Laila.”
Langkahku sontak berhenti. Aku diam, mencoba memahami bagaimana tadi Karim menyuarakan nada suaranya. Ini bukan kali pertama Karim berkata demikian, tapi rasanya kali ini aku tak mau mendengar itu. Aku mengutarakan pendapat untuk Karim tidak seperti itu, dia pun mengiyakan, meminta maaf pula. Lalu pembahasan berganti jadi Karim bercerita soal harinya, dari bagaimana dia bangun pagi karena pekerjaannya menuntut ia berangkat jam 8 pagi, membeli nasi padang di siang hari, lalu kembali bekerja di depan laptop sebagai content writer di portal berita Ibu Kota yang didiaminya dan belum pernah ia tinggalkan seumur hidup.
Karim lahir dan hidup 25 tahun di pulau yang berbeda dariku. Kisah perkuliahannya sudah usai sebelum bersamaku. Dia merupakan lulusan terbaik yang begitu keluar kampus langsung mendapatkan pekerjaan tetap berkat pengalaman magangnya yang begitu banyak. Aku sendiri, jurusan arsitektur yang baru saja menyelesaikan KKN selama satu bulan. Karim mengucapkan syukur saat KKN ku selesai sebelum bulan depan yang kini tinggal menghitung dua hari lagi. Katanya, itu bulan kelahiranku dan kantornya berencana melakukan pekerjaan luar pulau, di pulau tempatku berada. Karim memintaku mendoakan agar termasuk salah satu yang dipilih, karena dengan begitu berarti takdir kami bertemu sebentar lagi akan terjadi.
“Kontrakanku sudah terlihat, Kar.”