Biarkan Air Mengalir Sebagaimana Hujan

dari Lalu
Chapter #2

BAB 2

Kepalaku hening, Dosen sudah keluar dari kelas, aku baru mengetahuinya saat pundak terasa sakit karena dipukul Cika.

“Kenapa, Lail? Kamu bengong dari tadi,” celoteh Cika dengan dahi yang berlipat.

Aku langsung menggelengkan kepala, “Perasaanku lagi gak enak aja.”

“Lagi ada masalah sama Karim?”

Aku menggelengkan kepala lagi.

“Ya udah. Kamu jadi ke perpustakaan gak? Atau mau langsung pulang?”

Aku mengiyakan untuk ke perpustakaan. Tadi pagi aku kepikiran untuk segera menyelesaikan tugas akhir kuliah. Ibu sudah sering mengomeli untuk lanjut Master di negara tetangga yang ia huni karena rezekinya di sana. Aku selalu menuruti permintaan Ibu, terlebih dia sendiri di negara orang, walaupun Ayah menjaganya dari Syurga tapi sudah sepatutnya aku sebagai anak tunggal dan kehadiran yang ada satu-satunya dalam keluarga bisa menemaninya di usia yang tidak terkejar olehku.

Pintu perpustakaan sudah tinggal beberapa langkah lagi.

“Kayaknya Panji ada di dalam.”

Aku menengok kepada Cika, lalu menghela napas. Semenjak berteman dengan Panji, tidak ada satu hari pun di kampus tanpa kehadirannya. Selalu saja ada celah dimana aku dan Cika bersama Panji. 

Kartu perpustakaan ku tempelkan di pintu akses masuk. Kehadiran aku dengan Cika langsung diberi pandangan Panji yang berada di meja dengan 4 kursi yang baru satu didudukinya seorang, dekat jendela dan rak buku sejarah. Tentu, setelah mengambil buku, aku dan Cika menghampiri untuk duduk bersama Panji. Suasana siang hari memang paling teduh jika dihabiskan di perpustakaan. Baik aku, Cika, dan Panji sama-sama fokus pada apa yang jadi bahan bacaan masing-masing. 

Namun, jujur saja, semenjak pernyataan Karim yang ingin berkenalan dengan Panji, aku jadi gugup dan senggan tiap kali bersama Panji. Entah, jantungku tidak berdebar, justru aku menolak semua prasangka yang timbul pada hubungan persahabatan ini. Aku tidak tahu, tapi dari bagaimana aku menangkap bagaimana Panji memandangku, itu tidak pernah aku temukan pada siapa pun sebelumnya.

Dua jam berlalu.

Tidak ada jam kelas lagi. Aku membuka handphone sembari jalan keluar perpustakaan bersama Cika dan Panji. Hari ini sepertinya akan mendung saja, langit tidak segelap kemarin. Aku mengirim pesan kepada Karim, mengabari jika kuliahku usai, dan agar ia langsung menghubungiku dengan telepon. 

“Ya udah, aku ke kelas, ya,” Panji pamit karena kelasnya berjarak jauh dengan kelas aku dan Cika.

Lihat selengkapnya