Biarkan Air Mengalir Sebagaimana Hujan

dari Lalu
Chapter #3

BAB 3

Air yang tidak mengalir, akan tetap ada genangannya. Sementara hubungan tanpa ada komunikasi, akankah tetap ada perasaannya? 

Keesokan hari setelah tidak adanya kabar Karim, aku masih bisa baik-baik saja. Tak ada salahnya, mungkin di Ibu Kota sedang ada berita yang viral sehingga Karim tak sempat membuka handphone. Ketiadaan selalu bisa diartikan selagi ada pengertian yang berarti. Belum adanya kabar dari Karim, bisa aku toleransi dengan bagaimana Karim mengabariku di hari-hari yang sudah kami lewati. Tak akan jauh dari kemungkinan sebelumnya, aku yakin. 

Yang lebih membuatku kesal adalah ke kampus sore hari. Seharusnya tadi siang, tapi Dosen sedang ada acara penting, lalu minta geser ke sore. Bukan hanya kekesalan, melainkan juga kekhawatiran akan apa yang akan aku dapatkan dan tidak dapatkan hari ini. Seperti kemarin, kehilangan dan kehadiran seharusnya bisa lebih memberi jarak pada sebuah takdirnya. Memang, Panji belum tentu ada di Kampus karena kami beda jurusan, tapi bagiku Panji itu gila sebagaimana yang terjadi kemarin. 

Berangkat ke kampus langit mendung, dan tiba saatnya pulang masih mendung. Jendela kelas seakan kaca mobil yang hitam. Aku menghela napas, “Kamu udah tahu dari dulu kalau Panji suka sama aku?” tanyaku malas kepada Cika yang sambil membereskan tas. 

Cika memberi senyuman, “Justru aku kasih tahu dia kalau kamu udah cinta gila sama Karim, tapi dia gak respons apa-apa.”

“Aku serius, Cika.”

“Aku jujur, Lila.”

“Terus kamu berteman sama dia karena apa?” aku menanyakan hal yang ternyata belum aku cari tahu jawabannya. 

“Dia saudara jauh, jauh sekali denganku, jadi gak bisa disebut saudara. Tapi dia baik, Lail.”

“Bukan masalah baiknya. Dia gila ngungkapin perasaan di bawah hujan.”

Cika yang mendengar pun sedikit tertawa, sementara aku masih tak habis pikir. Aku dan Cika beranjak ke luar kelas, mengakhiri percakapan yang tidak akan selesai. Suasana luar kelas sudah sepi, mahasiswa lain pasti takut kehujanan. Aku dan Cika sampai di depan gerbang sekolah. Cika menelepon Dani, sementara aku hanya melihat handphone.

“Kamu udah chat Karim?” tanya Cika sesudah mengakhiri telepon.

“Dari kemarin Karim gak ada kabar, Cik.”

“Kamu udah coba telepon?”

“Aku gak berani.”

“Laila.”

“Nggak apa-apa, Cika. Its will be fine. Kamu tahu sendiri kerjaan Karim.”

“Kalau bukan karena kamu udah dua tahun, aku pasti minta kamu putusin dia sekarang juga.”

Lihat selengkapnya