Aku menghela napas, Cika mengirim pesan kalau dia sakit dan tidak bisa mengikuti kelas di siang hari jumat ini. Iya, di kampus, aku memiliki sedikit teman. Bukan salah orang lain yang tidak mengajak berteman, tapi aku menutup diri dan tidak membuka pikiran untuk menambah relasi. Ini juga didasari kekecewaanku saat aku masih tergolong mahasiswa baru, yang kemudian kagum dan dikecewakan oleh ekspektasiku sendiri. Aku belum bisa menceritakannya, ini bukan cerita untuk tahun itu, ini cerita dimana semuanya berada di akhir perjalanan dan ingatan.
Dosen pertama sungguh mengerti keadaan hatiku, beliau hanya memberi tugas yang harus dikumpulkan saat jam kelas berakhir. Aku lebih menyukai pengajar yang seperti ini, membuatku mandiri dan berpikir tanpa harus berkomunikasi seperti presentasi dan lainnya. Ada mahasiswa yang keluar, ada juga yang menetap seperti aku. Aku memainkan handphone untuk melihat sosial media.
Tringggg
Satu pesan masuk notifikasi. Jariku me-klik untuk membuka pesan dari nomor asing.
“Lail, ini aku Panji. Aku dapat nomormu dari Cika. Dia bilang kalau kamu selalu tidak makan sebelum ke kampus. Aku sedang di kantin. Mari.”
Aku berniat membacanya saja. Namun, Panji mengirim pesan lagi.
“Aku sungguh takkan berbicara omong kosong soal cinta dan bentuk lainnya.”
Oke, kali ini aku percayai ucapannya.
Aku sampai di kantin, melangkah ke tempat duduk yang diberitahu Panji lewat pesan jika ia duduk di meja samping gerobak bakso. Aku duduk di hadapannya.
Panji meminum es teh yang entah manis atau tidak setelah menghabiskan bakso yang ada di mulutnya. “Kamu mau makan apa?”
“Aku udah pesan nasi goreng di sana,” aku menunjuk gerobak yang ada di sudut kiri.
Panji hanya mengangguk, lalu kembali makan bakso yang bening. Aku sedikit tersenyum melihat selera Panji. Nasi goreng ku sudah sampai disajikan di meja. Aku pun memakannya. Ya, makan bersama Panji.
Entah aku yang lapar atau Panji tidak lapar, makananku habis di detik yang hampir sama dengan Panji. Namun, Panji tidak melihat kenyataan itu, ia justru membuka handphone seolah sedang mengetik pesan kepada seseorang.
“Gak sopan, ya, kalau buka Hp waktu lagi sama orang tuh,” celotehku.
Panji menaikkan alis, lalu tersenyum dan menutup handphonenya. “Aku laporan ke Cika kalau kamu ngabisin nasi goreng dalam waktu 7 menit aja.”
Aku sontak mengeluh dan memintanya tidak tertawa. Ternyata, Panji sudah menyadari hal yang aku anggap dia tidak perhatikan. Seolah apa yang aku tahu, justru sudah diketahui Panji lebih dulu. Aku tidak yakin untuk mengatakan ini, tapi rasanya lebih baik aku menerima keberadaan Panji sebagai teman.
Aku tersenyum, “Makasih udah ajak aku makan.”
“Bukan aku, tapi Cika yang memintaku.”
“Tetap aja kamu yang ada disini, nemenin.”
Panji seraya tersenyum, “Sama-sama.”