📖 BAB 1 — Dua Dunia, Satu Meja Diskusi
Siang itu, Jakarta terasa pengap oleh panas dan keramaian. Langit menggantung kusam, seakan menyimpan beban yang tak sempat dijatuhkan. Di sebuah aula kampus swasta kawasan Jakarta Timur, puluhan mahasiswa duduk berhadap-hadapan dalam forum lintas iman bertajuk:
“Iman di Tengah Dunia Modern: Masih Perlukah Toleransi?”
Dua narasumber duduk berdampingan di depan. Berbeda keyakinan, berbeda latar, tapi wajah keduanya tenang seperti permukaan danau yang luas.
Abdurrohim, pria 24 tahun asal Jawa Tengah, tampak duduk dengan tenang. Kemeja putih sederhana menutupi dadanya, dan sarung batik yang ia kenakan jatuh rapi hingga mata kaki. Songkok hitam yang melekat di kepala sudah menjadi ciri khasnya. Di balik penampilan yang bersahaja, ada aura keteduhan yang membuat orang-orang merasa nyaman sejak pandangan pertama.
Putra dari seorang kiai wira’i dan pengasuh pesantren kecil di lereng gunung, Rohim kini sedang menempuh studi S2 Filsafat Islam atas beasiswa prestasi. Hidupnya lebih akrab dengan sandal jepit, buku-buku tua, dan suara azan. Tapi hari ini, ia duduk di hadapan mikrofon dan sorot mata lintas agama.
Di sampingnya, Maria Ivana tampak seperti potongan majalah gaya hidup — namun dalam versi yang sangat santun. Perempuan 21 tahun itu adalah blasteran Indo-Kanada, rambut lurus sepinggang, wajah bersih, dan nada suara yang tenang. Ia mengenakan blouse putih dan rok panjang biru tua. Tak ada yang berlebihan, tapi semuanya tampak berkelas. Seperti dirinya.
Putri dari pengusaha ekspor-impor ternama, Maria ivana besar dalam pendidikan Katolik yang kuat dan lingkungan keluarga yang disiplin. Ia dikenal cerdas, tajam dalam berargumen, dan tak mudah terkesan. Tapi hari itu, entah kenapa, ia memperhatikan Rohim sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
Moderator membuka diskusi. “Toleransi sering dikira sebagai bentuk kompromi iman. Tapi benarkah begitu? Hari ini kita ingin mendengar perspektif dari dua sisi yang berbeda, tapi sama-sama memiliki semangat damai.”