Menteng menjelang malam seperti lukisan yang tak pernah membosankan. Lampu-lampu kafe kecil di sudut jalan menyala redup, menyiratkan kehangatan di tengah kota yang sibuk. Udara masih menyimpan sisa panas siang, tapi mulai digantikan semilir angin lembut yang membawa bau kopi dan roti panggang.
Rohim turun dari busway dan berjalan kaki menyusuri trotoar. Kaos oblong abu-abu pudar menempel di tubuhnya, celana jeans belel yang sedikit longgar, dan topi lusuh menutupi rambutnya yang disisir rapi. Tas ransel kain masih setia di pundak. Ia menatap papan nama kafe kecil itu: Lemari Cerita. Nama yang cukup nyeni untuk tempat ngobrol lintas semesta.
Di dalam, Maria sudah duduk — bersama seorang temannya. Perempuan juga. Wajah Asia Timur, rambut sebahu, mengenakan blazer tipis dan celana bahan krem. Mereka sedang tertawa pelan sambil memesan sesuatu ke pelayan.
Rohim berhenti sejenak di depan pintu kaca. Ia menarik napas dalam-dalam. Bukan karena gugup, tapi karena ia tahu—pertemuan ini akan menjadi lembar pertama dari sesuatu yang lebih panjang. Ia hanya belum tahu bentuknya apa.
Maria melambai. Rohim masuk dan berjalan menghampiri.
“Mas Rohim, kenalin. Ini sahabat aku dari SMA, namanya Clara. Dia sering nemenin aku ngopi, biar nggak dibilang ngedate katanya,” ucap Maria sambil tertawa kecil.
Rohim mengangguk, tersenyum ramah. “Assalamu’alaikum. Terima kasih sudah nemenin. Saya jadi nggak salah paham sama suasana kota besar.”
Clara menjawab dengan tawa kecil. “Wa’alaikumussalam. Wah, sopan banget ya Mas Rohim. Udah gitu ganteng pula.”
Maria menyikut lembut sahabatnya. “Dia emang begitu, suka asal ceplos.”
Mereka duduk. Rohim memesan teh panas. Maria dan Clara memesan kopi latte dan roti panggang keju. Musik akustik mengalun lembut dari sudut ruangan.