Pagi di kampus terasa sibuk seperti biasa. Suara motor, tawa mahasiswa baru, dan denting sendok dari kantin menyatu jadi simfoni kota yang tak pernah benar-benar sunyi.
Rohim duduk di pojok taman kampus, membuka laptopnya sambil menyeruput teh tubruk yang ia seduh sendiri dari termos kecil di ranselnya. Di sampingnya, ada buku “Filsafat Cinta dan Iman” yang sudah penuh stabilo kuning dan catatan kecil tulisan tangan.
Sinar matahari memantul dari permukaan danau buatan di tengah kampus. Tapi bukan itu yang menyilaukan pagi ini.
Ivana datang, mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu. Rambutnya diikat setengah, wajahnya segar tanpa polesan berlebihan. Ia membawa dua kotak bekal, satu ditaruh langsung di depan Rohim.
“Selamat pagi, filsuf sarungan. Saya bawain roti isi telur dan selai kacang. Tapi maaf ya, nggak halal secara romantis, cuma halal secara bahan makanan.”
Rohim tertawa pelan. “Asal bukan roti isi pertanyaan jebakan, saya terima.”
Mereka duduk di bangku taman. Clara tidak ikut hari ini—katanya sedang ada kuliah tambahan. Dan entah mengapa, suasana jadi sedikit lebih hening, meski tetap nyaman.
“Aku baca ulang catatan diskusi kita kemarin,” kata Ivana membuka pembicaraan. “Dan aku mulai sadar satu hal…”
“Apa?”
“Ternyata... semakin banyak aku belajar soal keyakinanku sendiri, justru aku semakin menghargai orang yang berbeda.”
Rohim menoleh, menatap mata Maria sesaat. Lalu menjawab dengan nada pelan.