Hari Sabtu sore. Langit Jakarta cerah setelah dua hari mendung. Maria datang lebih dulu ke sebuah kafe kecil dekat kampus. Kafe itu tenang, dengan jendela besar dan tanaman rambat di dindingnya. Clara sedang libur akhir pekan di rumah saudaranya, jadi kali ini Ivana sendiri.
Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana kulot abu, rambutnya digerai rapi. Sambil duduk, ia membuka laptop dan mulai membaca ulang makalah yang akan mereka diskusikan. Di samping laptopnya, ada dua gelas teh hangat — satunya ia pesan untuk Rohim.
Sepuluh menit berlalu. Ivana melirik jam tangannya. Lalu ada pesan masuk:
"Maaf ya, aku di mushola dulu. Ganti baju sebentar. Lima menit lagi ke sana."
Ivana tersenyum kecil. Ia menutup laptop, lalu menatap keluar jendela. Entah kenapa, justru pesan singkat itu membuat hatinya tenang.
Di mushola kecil dekat kafe, Rohim sedang berdiri menghadap kiblat. Ia mengenakan kemeja putih bersih, sarung batik yang jatuh anggun hingga mata kaki, dan peci hitam yang sederhana. Suaranya lirih dalam dzikir usai salam. Wajahnya tenang, seperti danau yang tak terusik angin.
Setelah berdoa singkat, ia melipat sajadah perlahan dan memasukkannya ke dalam ransel. Ia mengganti sarungnya dengan celana jeans butut, mengenakan kaus polos, dan mengganti peci dengan topi bundarnya. Semuanya dilakukan dengan rapi dan tenang.
Ivana melihatnya dari balik kaca kafe saat Rohim melangkah mendekat. Ia memperhatikan dari kejauhan, menyadari satu hal yang selama ini hanya ia rasakan samar-samar: pria itu tidak sempurna, tapi kesungguhannya membuatnya bersinar.