biarkan tuhan yang menyempurnakan

fath as'ad
Chapter #7

📖 BAB 7 — Semakin Dekat, Semakin Takut

Langit Jakarta murung siang itu, seperti menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diungkap. Di bawah langit mendung itu, Ivana duduk di kursi taman kampus sambil memeluk lututnya. Sepasang earphone menggantung lemas di lehernya, tapi tidak menyala. Ia tidak benar-benar ingin mendengarkan lagu — hanya ingin terlihat sibuk, agar tidak perlu banyak menjawab sapaan orang.

Dari kejauhan, suara sandal jepit yang khas menyapa rumput basah dan trotoar taman. Rohim datang, ransel di punggungnya, dan wajah polosnya tampak sedikit bingung.

“Aku nggak nyangka kamu ngajaknya ke taman,” katanya sambil duduk di sebelah ivana. “Biasanya kan kamu anak indoor.”

ivana tersenyum, tipis. “Aku lagi pengen lihat pohon. Mungkin supaya nggak gila.”

“Wah, ini parah. Maria Ivana pengen lihat pohon. Biasanya kamu ngajak diskusi filsafat sampai aku harus minum teh tiga gelas.”

Rohim duduk bersila, lalu membuka bekal kecil dari dalam tasnya. “Tahu nggak, ini ku buat sendiri. Tapi jangan harap enak.”

Ivana menatap bekalnya — nasi putih dan sambal teri. “Masak sendiri?”

“Iya dong. Kalau masak dibantuin ibu kos, nilainya kurang. Ini hasil keringat sendiri.”

ivana tertawa, dan untuk sesaat, wajahnya kembali bersinar. “Kamu tuh bisa banget bikin hidup orang jadi ringan, ya.”

“Lho, memangnya kamu berat sekarang?”

ivana terdiam sejenak. Hujan belum turun, tapi angin sudah mulai menusuk.

“Rasanya... semakin dekat aku sama kamu, semakin aku takut.”

Rohim menatapnya, pelan.

“Takut apa?”

“Takut semua ini salah. Salah arah. Salah tempat. Salah waktu. Salah rasa.”

Rohim tidak langsung menjawab. Ia menatap langit, lalu berucap pelan, “Aku juga takut.”

ivana menoleh cepat, terkejut.

Lihat selengkapnya