biarkan tuhan yang menyempurnakan

fath as'ad
Chapter #8

📖 BAB 8 — Antara Toleransi dan Tanggung Jawab

Matahari siang menggantung terik di langit Jakarta, tapi di bawah rindangnya pohon flamboyan dekat gedung pascasarjana, udara terasa sejuk oleh canda dan tawa. Rohim duduk santai di pembatas taman kampus bersama dua sahabatnya: Raka, si ceplas-ceplos yang tak pernah lepas dari sandal jepit, dan Faiz, mahasiswa filsafat yang rajin nulis jurnal tapi sering gagal move on dari gebetan fiksi.

“Santri Kampung,” seru Raka sambil melempar bungkus kopi sachet ke tong sampah, “anak-anak S1 makin penasaran sama kamu. Katanya kamu tuh kayak mix antara kiai kampung sama diplomat internasional!”

Faiz terkekeh. “Iya, bener tuh. Bicaranya lembut, tapi pas debat kayak mau ngirim pasukan perdamaian ke Yerusalem!”

Rohim cuma menggeleng pelan, menyeruput kopi panas dari gelas kertas. “Ya ampun... kalian ini lebay. Aku cuma ngebaca aja, itu pun sambil ngantuk.”

“Tapi tetep aja, Him,” Raka menyahut lagi, “kalo kamu jalan pake peci, sarung, dan kemeja putih tuh... auranya kayak Agus Salim reinkarnasi.”

“Tapi versi kampus. Nggak pake kereta kuda, tapi pake motor pinjaman,” tambah Faiz sambil ngakak.

Obrolan makin cair, tepat saat Ivana, Clara, dan seorang teman baru mereka — Livia — lewat dari arah kantin. Ivana mengenakan blouse krem dan celana jeans. Penampilannya sederhana, tapi elegan. Livia, teman baru mereka dari hubungan internasional, tampak lebih pendiam.

Clara melambai. “Halo, diskusi dadakan lagi nih?”

“Biasalah,” kata Faiz, “pemanasan sebelum diskusi beneran. Kalau enggak, otak kami macet kayak Sudirman jam lima sore.”

Ivana tertawa kecil. Ia menoleh ke Rohim. “Mas Rohim, besok forum jadi kan?”

Rohim mengangguk. “Jadi. Aku udah minta ruang diskusi di auditorium kecil. Tema besarnya: ‘Faith and Reason in a Plural Society’. Clara udah siap?”

“Clara semangat banget. Livia masih agak ragu. Takut terlalu berat katanya.”

Lihat selengkapnya