"Sya! Hentikan, hentikan!” teriakku pada wanita yang sudah kurang lebih tujuh tahun ini member-samaiku. Dia terus memelukku dan memaksa ingin mencium, mengajak supaya kami bercinta hari ini. Pantas saja, tidak biasanya dia mengajak ke sebuah hotel. Aku pikir hanya mengantar saja, ternyata dia mengajak masuk dan malah jadi seperti ini. Aku memang mencintainya, tapi otakku masih waras! Tidak mungkin aku merenggut mahkotanya, tanpa ikatan perkawinan. “Hentikan, Sya ....” Intonasi suaraku me-lunak, saat dia terisak. Aku memegang kedua tangan wanita itu, sementara kepalanya ambruk di dada seraya menangis.
“Bang, ini cara satu-satunya supaya kita bisa bersama. Aku enggak mau dinikahkan dengan pria lain, selain kamu.”
“Aku enggak mau mencoreng nama keluarga, hanya karena keegoisan kita, Sya. Bagaimana nasib anak kita kelak, kalau dia perempuan? Aku enggak akan bisa menjadi wali nikahnya. Lalu ... bagaimana wajah kedua orang tua kita? Kita akan memper-malukan mereka, Sya! Selain itu, masih banyak hal buruk lainnya yang akan menimpa.”
“Papa pasti bisa menerima Abang sebagai menantu, kalau aku hamil. Hanya itu jalan satu-satunya, Bang.”
“Lalu bagaimana perjanjian itu? Kita berjanji akan menjalani hubungan secara sehat, ‘kan? Enggak ada seks bebas, dan enggak ada berdua-duaan di tempat yang gelap. Tujuan kita dekat hanya untuk saling memahami dan saling mengenal satu sama lain, ‘kan, Sya?”
Awalnya kami hanya berteman biasa, saat duduk di kelas dua SMA. Karena terbiasa bersama, aku menjadi simpati dan kasihan pada wanita ini selalu tampak sendirian. Dia bukan tipe orang yang mudah bergaul di sekolah. Orang tuanya jarang di rumah, dan dia seperti sebatang kara. Tidak ada teman bercerita, tidak ada teman berbagi rasa sedih dan bahagia. Hingga kami dekat dan terbiasa. Bagiku, apa pun yang menjadi masalahnya adalah masalahku juga. Yang kutahu, aku harus selalu melindunginya. Hanya itu.
Frisya semakin tergugu. Aku tahu dia putus asa, karena kami tidak punya jalan keluar lain. Namun, kawin lari dan hamil di luar nikah bukanlah keputusan yang tepat. Tujuh tahun kebersamaan, bukan waktu yang singkat. Kami sudah saling mengenal satu sama lain. Frisya juga sudah dekat dengan Ibu dan Ayah. Hanya saja ... semenjak orang tuanya mengusir kami dari rumah besar mereka—karena lamaranku ditolak mentah-mentah, Ibu dan Ayah murka. Sebenarnya bukan wanita ini yang salah, tapi orang tuanya. Sayangnya, hal itu kini berimbas pada hubungan kami.
“Aku akan menuruti kehendak Papa dan Mama untuk menikah, tapi ingat, Bang ....” Tatapannya sungguh menghunjam jantungku. “Rasaku enggak pernah berubah. Aku akan tetap mencintai Abang.”
Aku mengangguk sambil menahan rasa sakit, saat men-dengar kalimat itu. Masa depan dan impian yang sering kami anggung-agungkan, hilang seketika.
“Berjanjilah, Abang akan tetap bersikap penuh kasih sayang padaku, meskipun ragaku sudah milik orang lain. Kita harus tetap sering bertemu seperti ini.” Aku hanya mengangguk sambil memejamkan mata.
Sebulan setelah pertemuan itu, aku mendapatkan undang-an pernikahan. Frisya Putri Lilaluna & Erick Candra Winayro. Undangan berwarna putih dihiasi gambar taburan bunga mawar. Aku duduk di dekat jendela kamar dan menggenggam undangan pernikahannya. Ada yang sakit, tapi tidak berdarah. Semakin jauh harapan kami bisa sama-sama.
Setelah hari itu, Ibu dan Ayah sangat gencar mencarikanku jodoh. Aku terus menolak dengan dalih belum siap. Padahal, aku masih fokus pada Frisya. Kami bahkan masih sering bertemu hanya untuk jalan berdua dan makan bakso seperti biasa.
***
"Ky, kapan kamu akan menikah?” tanya Ibu malam itu, saat kami sedang makan malam bersama.
“Iya, tuh. Lama move on-nya,” sambung Bagas sekenanya.
“Kamu sudah wajib menikah. Umurmu sudah mencukupi. Takutnya, nanti enggak bisa menahan diri dan berbuat sesuatu yang merugikan dirimu dan keluarga.”
“Maksud Ayah, seperti yang ada di berita-berita itu? Yah, Eky masih waras. Bagi Eky, menahan kemaluan adalah prioritas utama. Eky lebih baik mandi berjam-jam, agar enggak merusak anak orang!”
Tawa Bagas tersembur, sementara Ayah dan Ibu mengulum senyum. Aku kesal selalu dijodoh-jodohkan.
“Eh, gadis yang suka ngajar gratis, yang pamannya kerja sama kita itu ... kelihatannya baik, loh.”
“Oh, yang dulu SMP-nya satu sekolah denganku, Bu?” tanya Bagas.
“Iya. Ibu sering kasih dia uang dan barang, supaya makin semangat mengajarnya. Ibu bilang saja sama pamannya, titipan salah satu dari kalian. Siapa tahu, nanti dia suka sama salah satu dari kalian.”
“Ibu ada-ada saja. Aku dulu pernah suka sama temannya, Bu. Sayang, temannya pindah sekolah. Jadi, aku enggak bisa deketin. Setiap hari Senin, dia pasti terlambat ke sekolah. Pakaiannya lusuh, enggak pernah ke kantin, dan selalu bawa bekal ke sekolah. Tapi meskipun lusuh, dia sudah kelihatan manis. Aku bahkan enggak menyangka, dia sekarang berubah jadi secantik itu.”
“Kamu, Gas. Masih SMP dulu saja pikiranmu sudah pengin pacaran. Kalau suka sama perempuan, temui orang tuanya dan ajak menikah. Itu baru cinta yang sesungguhnya,” celetuk Ayah.
“Pengin, Yah. Tapi nanti kejadiannya kayak Abang. Kan, cuma bikin sakit hati saja.”
Mendadak semua terdiam. Selera makanku hilang. Aku berhenti makan, dan naik ke lantai atas.
“Enggak dihabisin makannya, Ky?” teriak Ibu, saat aku sudah menjauh.
“Kenyang, Bu,” timpalku tanpa menoleh ke belakang.
***
Semenjak mendengar cerita Ibu, diam-diam aku sering mengamati wanita yang bernama Gea itu. Setiap akan pergi ke sekolah, aku akan menyempatkan diri mampir ke rumahnya. Dari kejauhan, aku melihat dia tampak sibuk menjemur pakaian. Wajahnya cukup manis, tapi bukan tipeku, karena aku tidak suka wanita yang banyak bicara. Aku sering melihat dia menyapa tetangga yang lewat sambil tersenyum ramah. Kata beberapa teman yang berpengalaman, orang yang ramah cenderung cerewet di rumah. Kalau aku menjadikannya istri, apa tidak pusing nanti jadinya?