Brak!!
Pintu ditutup dengan keras oleh Kak Eky, setelah lama memandangku dengan tatap kesal. Aku menunduk dalam, menerima perlakuan ini. Ber-untung acara resepsi telah usai sejak tadi, dan kamar pengantin ini ada di lantai atas. Hal itu membuat kami tidak ada yang mengamati. Aku mencoba berdiri, meskipun sakit dan perih terasa mengimpit hati. Aku melepas pakaian pengantin, dan langsung masuk ke kamar mandi. Kuguyur tubuh ini dengan air dingin sambil memejamkan mata, mencoba menentramkan rasa sakit.
Selesai mandi, aku memakai baju tidur berwarna biru langit dan hijab instan berwarna hitam. Aku keluar kamar dan melihat ke lantai bawah, beberapa orang tampak sibuk ke sana kemari. Netraku berkeliling mencari sosok tinggi itu, tapi tidak kunjung kutemukan. Aku menuruni anak tangga menuju dapur. Sampai di sana menuang air putih, lalu meminumnya karena merasa haus.
"Pengantin baru. Jam segini, kok, bukannya tidur?" tanya Wak Nita. Wanita paruh baya ini adalah saudara dari Ibu Mertua. Wak adalah panggilan kepada saudara orang tua yang lebih tua, sedangkan Bibi untuk yang lebih muda.
"Gerah, Wak, di dalam kamar terus," sahutku seraya meletakkan gelas di atas meja.
Wak Nita mendekat dan meraba kepala, lalu tersenyum jahil menyadari rambutku basah. "Bentar lagi punya cucu Wak nih, ya."
Aku hanya tersenyum. Andai beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Sudah makan?" tanyanya seraya menuntunku duduk di kursi meja makan.
"Belum lapar, Wak."
"Makanlah, biar ada tenaga," bisiknya di telinga.
Aku hanya tertawa seraya menggelengkan kepala.
"Ya sudah, Wak ke depan dulu, ya."
"Iya, Wak," sahutku singkat, dan dia pun berlalu.
Aku duduk sambil menatap sekeliling. Di sini, aku akan tinggal bersama mertua dan Bagas, adik satu-satunya Kak Eky yang usianya seumuran denganku, sembilan belas tahun. Puas melamun, aku berjalan ke arah luar. Masih tegak berdiri nan indah pelaminan di depan sana. Masih segar di ingatan, saat kami menerima tamu dengan senyum merekah. Ah, aku memijat kening. Kepala ini terasa pening. Kuputuskan kembali ke kamar untuk berbaring. Sampai di kamar, ternyata sosok tinggi itu sudah ada. Dia baru selesai mandi, dan sudah berpakaian rapi.
"Kak, mau ke mana?" tanyaku berbasa-basi.
"Bukan urusan kamu. Aku bukan anak kecil, yang harus laporan ke mana akan pergi." Dia berjalan ke arah nakas hendak mengambil kunci sepeda motornya.
Aku bergegas menutup pintu, lalu menguncinya.
Melihat tingkahku, Kak Eky melotot. "Apa-apaan, sih?!" Dia berjalan mendekat.
Aku menyembunyikan kunci pintu di belakang tubuh, dalam genggaman tangan.
"Sini!" Dia mengulurkan tangan, meminta aku memberi-kannya.
Aku diam saja. Malah, menatap tajam ke arah Kak Eky.
Dia mendekat, dan memaksa. Tubuh tegapnya tepat berada di depanku. Posisinya sedikit memeluk, karena hendak meng-ambil sesuatu yang kusembunyikan. Namun, dia tidak kunjung mendapatkan kunci tersebut. Karena kesal, Kak Eky memberi jarak pada tubuh kami. "Mau kamu apa?"
"Aku sekarang istrimu, dan berhak tahu ke mana suamiku pergi."