Bias Rasa

Selvi Nofitasari
Chapter #3

Bab 3

Jahat memang. Aku selalu berusaha membuat Gea tidak betah bersamaku, meskipun sebenarnya aku terpaksa melakukan itu. Semakin hari, aku merasa ada yang salah di hatiku. Setiap kali habis berkata ketus, ada rasa bersalah yang menyelusup di dalam sini. Namun semenjak malam aku menikahi dan menjelaskan semua, mataku terbuka. Ya, aku tidak harus menyeretnya dalam masalah pribadiku. Sayang, nasi sudah menjadi bubur, ini sudah telanjur.

Diam-diam, aku sering membuka ruangan salat dan memperhatikannya terlelap. Hingga rasa bersalah kembali bergelayut manja. Aku sering melihat Gea menangis. Jujur, aku tidak tega. Harus berapa lama lagi aku menyakitinya seperti ini? Sepertinya, aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Jika ini berakhir, maka akan melukai banyak orang. Namun jika diteruskan, suatu saat dia akan terluka, karena hatiku masih berpihak pada Frisya.

[Bang, hari Sabtu aku pulang, ya! Kita harus bertemu. Aku sudah sangat ingin berbagi banyak hal pada Abang.]

Sebuah chat dari Frisya masuk siang ini. Aku sedang makan siang di kantor bersama guru lainnya.

“Pak Eky, sekali-kali istrinya dibawa ke sekolah. Kenalkan sama kita-kita,” celetuk Pak Sodik tiba-tiba.

Aku yang sedang membalas chat, segera memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana.

“Iya. Kita kan belum dikenalkan secara resmi. Cuma jabat tangan di panggung, mah, kurang asyik, Pak,” sambung Bu Rini.

Menyinggung soal malam pertama. Apa yang harus kukatakan?

“Pak, kalau mau anak perempuan, rajin makan sayuran istrinya. Kalau mau anak laki, ya harus banyak makan daging,” goda Pak Hasan sambil tertawa.

“Kalau saya, sedikasihnya saja, Pak. Yang penting, anaknya sehat,” sahutku membalas candaan. Suasana kantor guru menjadi ramai, karena mereka.

Semakin hari, Gea terlihat semakin akrab dengan keluarga-ku. Caranya bicara sangat lembut. Dia juga sangat telaten mengurusi semua keperluanku. Aku mulai mengamati kebia-saannya, jam berapa saja dia akan keluar dan masuk kamar. Aku akan salat dan mandi setelah dia melangkahkan kaki keluar dari kamar ini.

Bagas pun mulai menunjukkan ketidaksukaannya dengan sikap dinginku. Hanya dia yang menyadari tidak normalnya hubunganku dengan Gea. Pernah suatu ketika, Bagas meng-hadang saat aku sudah berjalan beberapa meter dari rumah. Tepatnya, saat hendak pergi ke toko. Pria itu marah besar. Katanya, dia tidak suka aku mempermainkan perasaan wanita.

Kami pun sempat beradu argumen di pinggir jalan. Kukatakan, kalau aku sudah berusaha melakukan yang terbaik. Aku hanya berusaha dia menyerah menjadi istriku, itu saja. Karena apa? Karena aku tidak mau dia merasa lebih sakit ke depannya. Terlebih, jika sampai mencintai dan menaruh harap padaku.

“Kenapa harus mempermainkan perasaan wanita seperti itu?”

“Jadi, kamu menghadangku, hanya untuk membahas wanita itu?”

“Dia bukan patung, Bang! Dia juga punya hati. Tega sekali Abang bersikap seperti itu padanya.”

Lihat selengkapnya