Di sudut temaram kota Jakarta, di mana para urban bersembunyi di bawah selimut kardus dari dinginnya udara malam. Jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan yang penuh gemerlap.
Dari ujung jalan, sayup-sayup terdengar nyanyian tak beraturan dari seorang pria yang berjalan terhuyung–huyung. Tampak bayangan tubuhnya mengikuti lelaki itu dengan setia. Sementara waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam.
Sumpah serapah mengiringi setiap langkahnya. Sepatu barunya menimbulkan suara decit yang menusuk telinga. Hampir setiap orang yang dijumpainya menghindar dan mengumpat dengan pandangan sinis. Namun tidak dengan pria itu, yang sudah sering mendengar gunjingan mereka pun seakan tidak peduli dengan itu semua.
“Kamu ini jorok sekali! Jangan muntah di sini! Dasar pemabuk!” hardik seorang pejalan kaki.
“Pergi! Kamu ini hanya bikin masalah saja!” lanjutnya.
“Hey Pak, ingat anak-istrimu, kasihan mereka!” tukasnya lagi.
“Bukan urusanmu! Mereka anak istriku, kamu nggak usah ikut campur urusan keluargaku! Memangnya siapa kamu ini!" balas Fredy terbatah sambil ngeloyor pergi.
“Dasar pecundang, mesti saja istrinya kabur, tidak tahan dengan kelakuannya!” umpat yang lainnya.
“Kalau aku punya suami seperi dia.. hmm.. sudah kucincang habis. Jika perlu tak laporkan polisi, biar tahu rasa!”
Sementara itu, Fredy tidak menggubris nya. Dia terus berjalan meninggalkan semua gunjingan untuk dirinya tersebut. Senyuman sinis tersungging di bibirnya. Langkah gontainya semakin cepat menyusuri trotoar di sekitar pertokoan.
Kakinya yang terseret seperti langkah-langkah bayi yang dipaksakan. Pikiran tersebut terus berkecamuk ketika matanya menatap sekeliling, orang-orang berlalu-lalang, hilir mudik, kesana kemari, serasa kepala mau pecah. Sesampainya di depan pintu rumahnya, Fredy bergegas menggedor-gedor pintu rumahnya sambil berteriak-teriak memanggil Romeo.
“Romeo! Romeo! Cepat buka pintu! (terdengar suara pintu digedor dengan keras) Romeo! Kenapa lama sekali! Dasar anak haram! Tak tahu diuntung! Romeo!” teriak Fredy sambil menggedor-gedor pintu dengan keras.
“Sebentar, tunggu!” sahut Romeo dari dalam rumah.
“Cepat!” teriak Fredy.
“Hrgh.. awas kamu, buka pintu saja lama sekali!” gerutu Fredy.
Sejenak kemudian terdengar suara pintu dibuka dari dalam.
“Romeo, dasar anak tak tahu diuntung!” kata kasar keluar dari mulut Fredy sambil menampar pipi Romeo.
Tak ayal lagi, satu tamparan itu membuat bocah tujuh tahun itu kaget bukan kepalang dan menangis, “Ayah! Kenapa kamu menamparku!? Kenapa ayah selalu memarahiku? Apa kesalahan yang telah kuperbuat hingga ayah sangat membenciku?!”
“Aku ini anakmu!” ucap Romeo dengan lelehan air mata. Tangan kanannya masih memegangi pipinya yang barusaja kena tampar. Masih nampak bekas merah telapak tangan ayahnya yang tercetak di wajah mungil bocah tujuh tahun itu.
“Bukan! Siapa bilang kamu anakku?! Kau bukan anakku!” jawab Fredy dengan kasar dan penuh emosi. Satu pukulan lagi mendarat di bahu kanan bocah kecil itu.
Mendapat perlakuan kasar ayahnya, Romeo bergegas keluar rumah sambil berlari, menangis, berteriak sejadi-jadinya menuju rumah Monica yang berada tepat di seberang jalan berhadapan dengan rumah Fredy.
“Kak Monik, Kak Monik! Tolong buka pintu! Kak Monik, tolong buka pintu!!” teriak Romeo sambil menggedor pintu rumah Monica.
Terdengar suara perempuan dari dalam rumah dengan berjalan tergopoh-gopoh, “Iya, tunggu sebentar!”
Setelah pintu rumah terbuka, Romeo langsung menubruk Monica dan mendekapnya sangat erat sambil menangis.
Denganmu lembut, Monica tersebut memeluk Romeo sambil berkata, “Romeo, ada apa? Kenapa kamu menangis? Apa ayahmu memarahimu lagi?”
“Ayah menamparku Kak Monik....” jawab Romeo lirih, masih dengan isak tangis yang tertahan.
“Apa?! Ayahmu sudah tidak bisa dibiarkan begini terus, dasar laki-laki tak berguna!” gerutu Monica dengan penuh amarah saat mengetahui lebam di pipi Romeo.
Karena sudah tidak bisa menahan emosi jiwanya tatkala melihat tindak kekerasan yang dilakukan oleh Fredy, membuat lulusan sarjana berwajah cantik tersebut murka. Sejenak kemudian Monica menggedor-gedor pintu rumah Fredy.
“Buka pintu! Biadab! Ayah macam apa kamu, beraninya hanya pada anakmu sendiri! Dasar ayah tak berguna!” teriak Monica sambil menggedor-gedor pintu.
“Apa kamu bilang, anakku.. ?! Dia bukan anakku!” balas Fredy dari dalam rumah dengan nada keras.
“Oh... kini kamu baru sadar kalau dia bukan anakmu. Dasar laki-laki lemah, mana kejantananmu, kamu bukan laki-laki, kamu tidak bisa mencegah istrimu kabur!” caci Monica.
"Tunggu, apa yang barusaja kamu ucapkan? Aku lemah, aku bukan laki-laki, kurang ajar! Awas kamu!” teriak Fredy sambil membuka pintu rumahnya.
Tanpa banyak kata, setelah pintu terbuka, Fredy menarik tangan Monica dan memaksanya untuk masuk kamar dan menguncinya. Sesaat kemudian pintu kamar ditutup dan dikunci.
“Dasar bajingan, apa yang akan kamu lakukan padaku?!” berontak Monica.
“Diam! Akan kutunjukkan bahwa padamu, aku ini laki-laki jantan.. hahaha... !” balas Fredy dengan senyuman sinis dan pandangan mata merah penuh nafsu birahi, seolah-olah ingin menelan mentah-mentah Monica.
“Apa yang akan kamu lakukan padaku, dasar pecundang!” teriak Monica sambil berusaha untuk berontak dan terlepas dari cengkraman tangan Fredy.
“Hahaha.. kamu mau lari kemana!?” kata Fredy menyeringai.
“Aku akan memerkosamu! Akan kutunjukkan kajantananku... hahahaha...!!!” tukas Fredy.
Fredy berjalan mendekati Monica. Dia pun mulai melepas semua pakaiannya yang basah oleh keringat di sekujur tubuhnya. Semakin dekat, dekat dan semakin dekat. Saat itu membuat jantung Monica semakin berdebar.
Sementara wajah Fredy menyeringai nakal, seolah dia sudah menutup mata dan telinga, dia tak perduli lagi melihat seorang perempuan yang mengiba dan meratap penuh ketakutan.
“Tolong, jangan lakukan itu! Kumohon!” hiba Monica.
“Kamu sudah buat masalah denganku. Sudah diam... hahaha...!” kelakar Fredy dengan pongahnya.
“Atau aku akan berteriak!” ancam Monica.
“Silahkan berteriak sekeras-kerasnya, di luar sepi!” balas Fredy.
Saat Fredy tepat berada di hadapannya, tanpa dia sadari, satu tendangan spontanitas dari kaki Monica menghantam ulu hatinya. Tak ayal lagi, seketika itu juga Fredy berteriak kesakitan, mengerang sambil memegangi perut bagian atasnya.
Dia terjatuh ke lantai, berusaha menahan rasa sakit karena tendangan Monica. Melihat kesempatan itu, Monica tidak menyia-nyiakannya. Dia segera bangkit dari ranjangnya dan berlari menuju ke pintu kamar, namun nahas pintunya terkunci dan kuncinya dibawa oleh Fredy.