Sesampainya di dalam ruangan kelas, Romeo langsung bergegas mencari keberadaan Friska. Dan sedikit lega perasaannya saat melihat Friska duduk di bangkunya bersama Fany. Romeo bergegas menghampiri mereka yang sedang asyik ngobrol. Fany menyadari kedatangan Romeo.
“Ssst.....Fris, tuh... dicari Romeo!” bisik Fany.
“Biarin saja!” umpat Friska.
“Fris!” panggil Romeo.
Tapi Friska hanya diam membisu. Sepertinya dia sengaja tidak menghiraukan panggilan Romeo.
“Fris! Aku tahu kamu masih marah padaku. Aku minta maaf!” kata Romeo menghiba.
Namun lagi-lagi Friska hanya diam membisu. Tak memperdulikan kehadiran Romeo. Melihat perlakuan Friska tersebut, membuatnya dongkol.
“Friska! Tolong dengarkan aku. Aku tahu, aku bersalah padamu, jadi tolong maafkan aku!” ujar Romeo.
“Rom, apa kamu masih belum puas juga menggangguku.... (plak)!” bentak Friska sambil melayangkan satu buah tamparan di pipi kanan Romeo.
Tak ayal lagi, satu tamparan tersebut membuat Romeo terkejut bukan kepalang, “Friska, kenapa kamu menamparku?!”
“Rom, begitulah rasanya ditampar.... sakit tahu!” hardik Friska.
“Tapi bukan aku yang menamparmu!” sanggah Romeo sambil telapak tangannya memegangi bekas tamparan di pipinya.
“Tapi karena perbuatanmu yang membuat ayahku marah dan menamparku. Dasar anak pemerkosa!” bentak Friska.
“Cukup Friska, tolong jangan ucapkan makianmu itu lagi di hadapan orang banyak!” kata Romeo.
“Biar! Biar semua orang tahu!” balas Friska emosi.
“Sudah, terserah kamu. Yang terpenting kamu harus pulang!” kata Romeo menghiba.
“Tolong, pulanglah!” lanjut Romeo.
“Nggak mau. Aku nggak mau pulang! Apa urusanmu denganku, aku mau pulang atau tidak, bukan urusanmu. Mengerti!” tukas Friska.
“Fris, tolong dengarkan aku. Ayahmu sangat menyesal. Ayahmu minta kamu untuk pulang ke rumah. Pulang ya...!” bujuk Romeo.
“Sudah kukatakan aku tidak mau pulang! Apa kamu tuli?! Sudah sana pergi, kembali ke bangkumu!” hardik Friska.
Sementara Romeo pergi meninggalkan Friska menuju bangkunya dalam perasaan galau karena dia merasa tidak berhasil membujuknya.
******
Beberapa menit kemudian, Romeo dikejutkan oleh kehadiran kepala sekolah bersama seorang perempuan muda yang tak begitu asing baginya.
“Kak Monik! Apa benar itu Kak Monik? Ada keperluan apa sia di kelas ini?” pekik lirih Romeo.
Wanita cantik itu sudah lama dia kenal bahkan sejak masa kanak-kanak. Namun itu semua sudah lama dan keraguan membuatnya mencari tahu dulu kepastian siapa dia. Monica seperti yang dia kenal ataukah orang lain yang memang memiliki wajah yang mirip.
“Selamat pagi semua!” sapa sang kepala sekolah.
“Selamat pagi Bapak Kepala Sekolah!” jawab semua siswa yang ada di dalam kelas serempak.
“Mohon perhatiannya sebentar. Pagi ini kita kedatangan seorang guru muda yang cantik. Beliau akan menggantikan posisi sebagai wali kelas kalian, menggantikan Bu Rukmini yang harus mengundurkan diri karena harus mengikuti suaminya yang bertugas di negara Jerman. Jadi untuk selanjutnya beliau ini yang akan menjadi wali kelas kalian. Kalian mau tahu siapa nama wali kelas kalian?” jelas sang Kepala Sekolah.
“Mau...!” jawab mereka serempak.
“Silahkan memperkenalkan diri..” bisik sang Kepala Sekolah.
“Baik!” sahutnya.
“Selamat pagi semua! Perkenalkan nama saya Monica. Saya diminta oleh Bapak Kepala Sekolah untuk bisa hadir pagi ini di kelas XI B SMA Pelita Harapan untuk acara perkenalan wali kelas baru. Dan ini merupakan suatu penghargaan bagi saya. Dan mulai hari ini saya bertugas sebagai wali kelas kalian menggantikan Bu Rukmini yang harus pindah ke Jerman karena mengikuti suaminya. Jadi untuk selanjutnya kalian bisa menghubungi saya jika ada permasalahan dengan kelas kalian. Terimakasih!” jelas Monica cukup panjang lebar memperkenalkan dirinya.
******
Saat jam istirahat, Romeo keluar kelas, bukan menuju kantin sekolah tapi menuju ke taman dekat lapangan bola basket. Pikirannya masih penuh dengan kerumitan. Hingga dia secara tidak sengaja berpapasan dengan Monica.
“Ka... Kak Monik!” sapa Romeo sedikit gugup sambil jari jemarinya mengucek-ucek kelopak matanya.
“Hei.. Romeo. Apa benar kamu ini Romeo?” tanya Monica.
“Iya Kak Monik, aku Romeo, anak Pak Fre....” jawab Romeo tapi tiba-tiba dia menghentikan ucapannya.
“Sekarang aku yakin kamu benar-benar Romeo yang kukenal. Sekarang kamu tinggal di mana?’ tanya Monica.
“Aku dan ibuku sementara ini tinggal di rumah paman Rudy, saudara ibuku Kak!” jawab Romeo penuh semangat.
“O iya, gimana kabar ibumu, siapa tuh... ngnggg... Bu Belinda?” lanjut Monica.
“Ibu baik-baik saja Kak!” balas Monica.
“Kak Monik, selama ini kakak tinggal di mana?” tanya Romeo.
“Kak Monik tinggal di Menteng!” jawab Mika.
“Ngomong-ngomong, Kak Monik sudah menikah?” cecar Romeo.
“Belum... ” sahut Monica tersenyum.
“Maksudnya? Belum menikah?” lanjut Romeo ingin tahu.
“Oooo... (menatap wajah Monica) Kak Monica masih tetap cantik seperti dulu!" puji Romeo.
“Iii... kamu ini sekarang sudah pintar merayu... sudah... sudah... ” elak Monica mencoba mengalihkan.
“Ngomong-ngomong gimana ka... bar... aa... yahmu?” tanya Monica dengan nada berat dan terkesan ragu, seolah mengandung sesuatu beban yang berat.
Dengan mengambil nafas panjang, dengan sedikit gemuruh di rongga dadanya, Romeo menjawab, “A... ayah ku ditangkap polisi, kami tidak tahu bagaimana nasib ayahku. Bahkan aku pun juga tidak tahu di mana keberadaan ayahku sekarang karena ibu nggak pernah memberitahuku. Kak Monik pasti masih sedih dan benci ya dengan ayahku... hmm... seharusnya peristiwa malam itu tidak terjadi pada Kak Monik. Semua gara-gara aku. Andaisaja saat itu aku tidak mengadu ke kakak, pasti Kak Monik akan baik-baik saja. Maafkan Romeo, Kak Monik...... !”
Sejenak Monica menarik nafas dalam-dalam, seolah masih ada beban dan trauma masa lalu yang sulit untuk dilupakan, “Yaaa... semua sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesali, tidak ada gunanya terus diingat, justru akan semakin membuat keruh suasana. Namun memang benar, tidak seharusnya ayahmu melakukan semua itu pada anak dan istrinya... sudah semestinya dia menyayangi kalian!”
Terlihat Monica berkaca-kaca namun dia berusaha untuk tidak menangis. Monica kembali menarik nafas dalam-dalam berusaha menguasai emosi jiwanya.
******
Sepulang sekolah, tanpa ditemani oleh Friska, tanpa salam, seperti yang biasa dia ucapkan ketika pulang dan masuk rumah, Romeo, langsung nyelonong menuju kamarnya tanpa menghiraukan keberadaan ibunya yang kebetulan saat itu sedang berada di dapur sedang menyiapkan makan malam di meja makan.
Mengetahui akan hal itu, Belinda hanya melihatnya dengan rasa heran dan penasaran.
Setelah masuk kamar, dia melemparkan tasnya begitu saja di pojok kamar. Romeo bergegas masuk ke kamar mandi. Suara shower air hangat yang menyala dan kecipak air memenuhi ruangan kamar mandi hingga terdengar meruang dan menggema. Setelah beberapa menit kemudian, dia keluar kamar mandi dan bergegas kembali masuk ke dalam kamar.
Sudah satu jam lebih dia hanya berdiam diri di kamar, hingga membuat ibunya gelisah. Tanpa pikir panjang lagi, perlahan Belibda melangkah menuju kamar Romeo. Meski sudah berulangkali diketuk pintunya, namun tetap saja tak ada jawaban dari dalam. Hening. Sepi.
"Romeo, apa kamu di dalam? Boleh ibu masuk? Romeo!" ucap Belinda lembut.
Hening. Bisu. Tak ada suara. Tak ada jawaban sama sekali. Biasanya Belinda tidak menunggu lama, pintu itu langsung dibukakan. Tanpa harus menunggu persetujuan dari siapapun, Belinda pun memutuskan membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci.
Ketika pintu sudah terbuka, Bu Shinta mengarahkan pandangannya ke sekililing kamar. Di tempat tidur, tak ada. Meski dia sudah berusaha mengamati ruang kamarnya, Romeo tak ditemukan juga.
Belinda melihat pintu taman belakang terbuka. Kemudian Belinda melangkah keluar, dan dia mendapati Romeo sedang memainkan kakinya di tepi kolam. Memandangi bayangannya sendiri di air kolam. Sesekali, dia menghembuskan nafas begitu berat.
Benar, Belinda tak pernah mendapati Romeo seperti ini. Perlahan Belinda mendekat dan bergegas duduk di sampingnya, turut mencelupkan kakinya ke tempat yang sama. Lalu dia juga memasukkan tangannya ke dalam air kolam.
Kemudian Belinda sengaja menjatuhkan beberapa tetes air tepat di atas bayangan wajah anak laki-lakinya. Dan bayangan itu pun pecah, membentuk gelombang yang semakin menjauh. Belinda pun tertawa, mencoba mencairkan suasana.
Sejenak Romeo menatap ibunya lekat-lekat dengan pandangan mata yang sayu, lalu memalingkan pandangannya kembali menatap langit. Wajahnya tetap muram seperti langit yang mendung. Mungkin pertanda malam nanti akan turun hujan.