"Hengky, kamu ada masalah sama Priska?"
"Nggak, Umi. Nggak ada masalah. Emangnya kenapa? Tumben umi tanya soal Priska."
"Umi kan cuma tanya, soalnya pernikahan kalian kan tinggal tunggu Minggu aja. Umi harap kamu jangan kecewakan banyak orang. Ingat, kamu juga punya adik perempuan, jadi kamu juga harus jaga anak orang. Kamu nggak mau adik kamu dibuat mainan para lelaki kan." Yang diajak bicara hanya diam. Sedangkan wanita paruh baya ini berlalu kembali dengan mesin jahitnya.
==================
Tulit. Tulit.
"Priska, ponsel kamu bunyi."
"Iya, Mah. Tangan Priska lagi kotor, mamah aja yang angkat."
Jadi ceritanya sore ini rumahku kedapatan jadwal arisan. Mamah sibuk bersihkan rumah, sedangkan aku sibuk buat kue lapis. Mamah sudah mewariskan resepnya untukku, sekarang untuk urusan kue, aku bisa diandalkan.
Mamah menghentikan kesibukannya sejenak, beralih dari sapu menuju ke ponselku. Mamah membantuku mengangkat telpon karna tanganku belepotan dengan tepung. Ketika mamah melihat nama yang muncul di ponselku, mendadak lutut mamah lemas, seakan-akan ini tidak mungkin terjadi.
Bang Hengky.
Perasaan mamah tidak karuan, bercampur aduk. Akhirnya mamah menarik nafas dalam-dalam lalu menekan tombol warna hijau.
Mamah sengaja diam, ia berharap bang Hengky yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Lagipula ini ponsel milikku, bang Hengky tidak tahu kalau yang mengangkat telpon itu mamah.
"Dek Priska." Terdengar lirih.
Mamah hanya diam. Mungkin mamah masih kesal dengan bang Hengky. Tapi mamah berusaha mengontrol diri, mamah takut nantinya akan tambah memperkeruh masalah.
"Dek Priska... Abang minta maaf ya." Masih hening, tanpa jawaban. "Kenapa dek Priska diem aja? Dek Priska marah sama abang ya? Dek Priska.... Abang masih sayang dek Priska. Abang nggak....."
"Ini mamah. Priska lagi di dapur. Mamah panggil dulu." Dengan nada lurus.