BICARA DENGAN TUHAN

Febriana listiyanti utami
Chapter #12

Rencana Itu Berawal Dari Ide Yang Tak Disengaja #12

"Eh, malem Minggu ntar nonton yuk." Ajak Ema pada kami.

"Aduh... Nggak bisa, aku lembur. Gimana kalo hari Minggu kalian hang out ke rumahku. Kebetulan bapak ulang tahun. Ntar sih rencananya mau bakar ikan." Ajakku ke para sahabatku.

Kebetulan hari Minggu bapak ulang tahun yang ke 46. Kami sepakat membuat syukuran kecil-kecilan. Aku hanya undang kelima sahabatku. Jadi kita rayakan dalam keluarga saja, tidak perlu mewah-mewah. Hanya ungkapan rasa syukur saja pada Tuhan karna selama ini sudah dilimpahi banyak rezeki untuk kami.

"Oh... Bapak ulang tahun, Pris?" Yang keberapa?"

"46."

"Wah, iya deh kita Datang. Eh, kalian bisa kan?" Tanya Ema pada teman-teman yang lain.

Setelah saling bertanya, akhirnya mereka memutuskan untuk datang. "Oke deh, kita semua Datang."

Aku, Dian, Ema, Erlin, Yeli, dan Shinta, kita dulunya teman dari SMP. Kita berenam memang sepertinya sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat. Mulai dari SMP sampai SMA kita satu sekolah.

Setelah lulus SMA, kita mulai dengan kesibukan kita masing-masing. Aku sekarang kerja di restoran, Dian kerja di bank, Erlin kerja di bidang advertising sambil terima job jadi MC, sedangkan Ema, Yeli, dan Shinta sedang fokus pada kuliahnya.

Walaupun kita berenam sibuk dengan bidangnya masing-masing, tapi kita masih saja hang out bareng, wisata kuliner bareng.

#Di rumah.#

"Happy birthday ya, Om." Teman-teman kompak memberi selamat pada bapak.

"Makasih ya, Anak-anakku."

Karna saking seringnya ke rumah, bapak menganggap kelima sahabatku seperti anak bapak juga. Dulu waktu sekolah, mereka sering main ke rumahku. Mereka sudah tidak asing dengan bapak, mamah, dan adikku.

"Oke, sekarang saatnya kita bakar ikan...!!" Teriak bapak pada kami.

"Hore...!!"

"Wuih, besar banget ikannya. Ikan apa ini, Om?" Tanya Ema. Ema memang dari dulu orangnya punya rasa ingin tahu yang tinggi.

"Biasa orang bilang ikan kakap merah. Ikan ini dagingnya enak, gurih." Bapak sudah membuat air liur kami meleleh.

"Aduh, nggak sabar nih. Ayo buruan kita bakar." Pinta Shinta.

Di sela-sela sibuknya membakar ikan, kami selingi dengan canda tawa. Andaikan sekarang ini ada bang Hengky, pasti lebih menyenangkan. Tapi dia lagi sibuk dengan kerjanya di Bandung.

Tulit. Tulit.

Suara berasal dari ponselku, setelah aku lihat di layar, ternyata nama bang Hengky yang keluar. Panjang umur juga dia, baru saja dipikirkan, langsung telpon. Aku bergegas lari ke ruang tengah agar tidak terdengar para sahabatku.

"Iya halo, Bang." Dengan nada manja.

"Selamat ulang tahun buat bapak ya, Sayangku."

"Kok bang Hengky inget kalo hari ini ulang tahun bapak?"

"Ya inget dong, Sayang... Kan abang sayang dek Priska, berarti abang juga harus sayang orang tua dek Priska." Lagi-lagi aku merasa beruntung bisa memilikinya.

"Dek Priska panggil bapak ya... Biar abang omong ke bapak sendiri."

"Iya deh, Sayangku."

Kemudian aku segera mencari bapak.

"Bapak, ada telpon. Cepat, katanya penting." Aku sengaja memasang wajah serius.

"Siapa, Pria?"

"Bapak ke ruang tengah dulu, ponsel Priska ada di situ."

Kemudian bapak pergi menuju ke ruang tengah dengan berjalan membelakangiku, sementara aku senyum-senyum sendiri karna merasa sudah berhasil mengerjai bapak.

Aku sengaja sembunyi di belakang tembok pembatas antara ruang tengah dengan dapur, berusaha untuk menguping pembicaraan bang Hengky dengan bapak.

"Iya halo. Ini siapa?" Tanya bapak setelah mengangkat ponselku. Bapak tidak memperhatikan nama yang tertera pada layar ponsel.

"Ini Hengky, Pak. Hengky mau ngucapin selamat ulang tahun buat bapak. Semoga bapak diberi umur panjang dan sehat selalu."

"Terima kasih banyak ya, Nak Hengky. Tapi ngomong-ngomong kalo bapak boleh tahu, nak Hengky tahu dari mana kalo hari ini bapak ulang tahun?"

"Bapak nggak perlu tahu Hengky dapat info dari mana, karna memberi ucapan pada orang yang kita sayang dan kita anggap penting itu wajib, Pak. Kayak sekarang ini, bapak udah Hengky anggap seperti bapak sendiri, jadi wajib mengingat hari spesialnya."

Tembok tempatku bersembunyi terlalu tebal, jaraknya juga lumayan jauh dari tempat bapak berdiri, sehingga membuatku kesulitan mendengar pembicaraan mereka. Tapi aku lihat sepertinya mata bapak berkaca-kaca. Entah apa yang mereka obrolkan.

"Priska...."

Bapak tidak boleh tahu kalau aku sudah menguping dari tadi. Aku sengaja melangkah ke dapur kemudian menjawab panggilan bapak, supaya seolah-olah aku ada di dapur dari tadi.

"Iya..."

"Ini, katanya masih mau ngobrol." Bapak menyodorkan ponsel ke arahku.

"Halo, Bang. Tadi ngobrol apa aja sama bapak?"

"Ada deh, mau tahu aja." Bang Hengky sengaja menggodaku.

Lihat selengkapnya