#Dua hari setelah acara.#
"Pris."
"Iya, Mah."
"Hari ini masih belum masuk, Pris?"
"Iya, Mah. Hari ini Priska libur lagi."
Sudah dua hari ini aku izin tidak masuk kerja. Mungkin karna acara kemarin, aku merasa badanku capek sekali. Rasa-rasanya ingin tidur saja. Hari ini aku ingin minum terus, keringat dingin terus keluar.
Sengaja kurahasiakan dari mamah. Kupikir ini hanya kecapekan biasa, aku takut mamah khawatir padaku. Selama aku izin, aku di rumah terus, tidak kemana-mana. Hanya sesekali menonton televisi, atau terkadang main ayunan di belakang rumah, seperti sekarang ini.
Ketika asyik duduk di atas ayunan, ponselku berdering.
"Priska."
"Iya, Mah."
"Ada telpon." Mamah sengaja membawakan ponsel itu padaku, mamah takut terjadi sesuatu pada kandunganku kalau aku terburu-buru mengambil ponsel.
"Makasih, Mah."
Dian yang menelepon.
"Iya, Dian. Kenapa?"
"Pris, katanya udah dua hari kamu nggak masuk kerja ya?"
"Kok kamu tahu sih? Siapa yang kasih tahu?"
"Ada deh, emangnya kamu sakit lagi, Pris?"
"Mungkin kecapekan aja."
"Oh ya, sebentar sore aku sama temen-temen mau ke rumah kamu."
"Oh ya udah, aku tunggu ya."
"Oke, Pris. Bye."
CEKLIK.
#Sorenya di rumahku.#
Tok. Tok. Tok.
"Priskanya ada, Tante?" Kelima sahabatku sudah datang.
"Ada di kamarnya, masuk aja."
Mereka sudah terbiasa main ke rumahku, jadi mamah menyuruh para sahabatku langsung masuk ke kamarku.
"Oh ya, Tante. Priska sakit apa?" Yeli berusaha menginterogasi mamahku di depan pintu.
"Kecapekan aja." Jawab mamah singkat. Mamah harus tetap merahasiakan kehamilanku, lagipula pernikahanku sudah dekat.
"Kalo gitu kita ke kamar Priska ya, Tante." Mamah mengangguk.
Tok. Tok. Tok.
Yeli mengetuk pintu kamarku, tapi sepertinya aku tidak mendengarnya. Mereka ambil inisiatif untuk tetap masuk, walaupun tidak ada sahutan dari dalam kamarku. Lagipula kamarku juga tidak kukunci.
Ternyata aku terlelap dalam tidur. Tidurku pulas sekali sampai-sampai tidak mendengar suara ketukan pintu.
Beberapa saat kemudian aku merasa ada banyak tangan yang menyentuhku. Kubuka mataku, kulihat kelima sahabatku duduk di sampingku.
"Hai, Guys." Aku terlihat lemas sekali.
Dian membelai rambutku,"Kamu nggak apa-apa, Pris?"
"Cuma kecapekan aja." Sambil berusaha untuk duduk. Dian dan Shinta membantuku untuk bersandar pada bantal yang sudah dibuat berdiri sebelumnya.
"Kamu yakin, Pris, kalo hanya sekedar capek?" Tanya Ema takut.
"Iya... Oh ya, aku bersyukur banget lho acara kemarin bisa berjalan lancar, berkat kalian. Makasih ya." Aku sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Itu karna kerja keras kita bersama, terutama kamu, Pris. Kamu yang kenalkan kita sama Fathur, jadi kita nggak bingung waktu susun acara." Aku hanya senyum.
"Ah, itu juga atas izin Tuhan, Dian. Tuhan mempermudah jalan kita lewat bantuan Fathur dan temen-temennya. Eh... Ngomong-ngomong dari mana kamu tahu kalo aku udah dua hari nggak masuk kerja?" Tiba-tiba teman-temanku tertawa, seakan-akan menyembunyikan sesuatu dariku. Sepertinya aku ketinggalan informasi.
"Emangnya tadi kamu ke tempat kerjaku ya?" Karna belum ada jawaban, akhirnya aku bertanya kembali. "Kalian kenapa?"
"Emangnya kamu nggak tahu ya, Pris?" Yeli sengaja menggodaku.
"Apaan?" Aku tambah penasaran.
"Ayo kasih tahu dong, Dian." Yeli terus menggoda sambil menggelitik pinggang Dian.
"Ah, apaan sih." Keluh Dian.
"Apaan, Dian?"
"Nggak papa, Pris." Wajah Dian memerah.
"Idih... Idih... Coba lihat, muka Dian merah lho." Usil Yeli semakin menjadi.
"Ih... Apaan sih, Yeli." Wajah Dian semakin memerah.
"Dian kan udah resmi pacaran sama Fathur." Erlin sudah tidak sabar ingin membocorkan rahasia Dian.
"Oh ya? Sejak kapan?"
"Ehhmmm... Anu... Ehhmmm..."
"Dua Minggu sebelum acara kita, Pris." Lapor Erlin lagi.
"Erlin, awas kamu." Gertak Dian pada Erlin. Yang lain tertawa.
"Oh... Nggak papa. Selamat ya kalo gitu. Fathur tu orangnya baik lho, kamu beruntung dapet dia. Aku kenal betul sama Fathur. Makanya aku heran, kok Dian bisa tahu kalo aku udah dua hari nggak masuk kerja. Ternyata narasumbernya dari sang pacar." Semuanya kompak tertawa.
"Ah, Priska. Yang penting kita udah tahu keadaan kamu." Keluh Dian sambil menahan malu karna rahasianya sudah terbongkar.
"Oh ya, aku pengen ke kamar mandi nih."
Tiba-tiba perutku terasa sakit seperti tertikam. Ketika aku berdiri dari tempat tidur, kepalaku terasa berat. Rasanya di sekelilingku bergoyang-goyang.
"Kamu nggak papa, Pris?" Dian dan Ema membantu menopangku dari tangan kanan dan kiri.
"Nggak papa."
Aku bersi keras untuk ke kamar mandi dan meyakinkan mereka bahwa aku tidak apa-apa. Dian dan Ema masih menopangku untuk bisa masuk ke dalam kamar mandi.
"Tapi, Dian, Ema, aku kan mau buang air. Masak sih kalian mau masuk di dalam. Lagian kamar mandiku kecil, nggak muat buat bertiga."
"Ya udah, kita nggak masuk. Tapi pintunya jangan dikunci ya, ditutup aja. Takutnya kamu kenapa-napa di dalam." Perintah Ema padaku.
Semenjak aku lulus dari SMA, aku merengek ke bapak untuk dibuatkan kamar mandi di dalam kamarku. Maklum, namanya masa puber, segalanya berubah, mulai dari keluar menstruasi sampai bentuk fisik, aku malu pakai kamar mandi bersamaan. Makanya aku minta dibuatkan kamar mandi di dalam kamar. Karna jarak antara tempat tidurku dengan kamar mandi dekat, jadi Dian dan Ema tidak perlu telalu lama menopangku.
"Iya." Aku menuruti perintah Dian dan Ema. Pintu kamar mandi hanya kututup saja tanpa kukunci.
Ketakutan Dian dan Ema itu benar. Ketika aku melangkahkan kaki dari pintu kamar mandi menuju closet, kepalaku tambah berat, dan.....
BRUK.
"Suara apa tuh." Teriak Erlin.
"Kayaknya asalnya dari kamar mandi." Sahut Shinta.
Semua sahabatku berhamburan menuju kamar mandi, terlihat tubuhku yang sudah tergeletak di atas ubin kamar mandi. Aku tidak hanya sekedar jatuh, tapi juga bersimbah darah.
"Astaga, Priska." Teriak Yeli.
"Shinta, kamu ke bawah beri tahu Tante." Perintah Dian.
"I... Iya."
"Oke, sekarang aku, Ema angkat bagian atas. Yeli, Erlin angkat bagian kaki ya. Kita bawa ke tempat tidur." Tanpa komentar, mereka menuruti perintah Dian.
Mereka berhasil membawaku di atas tempat tidur. Darah masih terus mengalir diantara kedua kakiku.
"Tante." Teriak Yeli dan Ema.
"Kenapa bisa begini?" Tanya mamahku dengan cemas.
"Tadi Priska pengen ke kamar mandi, Tante. Tahu-tahu Priska udah jatuh begini."Yeli tak kuasa menjelaskan terlalu panjang karna detak jantung Yeli berdetak tambah kencang.
"Udah telpon dokter belum?"
"Belum, Tante. Kalo telpon taxi aja gimana?"
"Oh iya, gitu juga baik. Kamu tahu nomornya?"
"Tahu, Tante." Yeli langsung meraih ponselnya yang ada di dalam tas dan langsung menghubungi taxi. Kebetulan Yeli punya banyak langganan taxi.
Selang beberapa lama taxi pun datang. Aku pun segera diangkat ke dalam taxi, sedangkan sebagian sahabatku mengikutiku dari belakang taxi dengan motor mereka.
Kebetulan sudah dua hari bapak sedang ada di luar kota untuk menghadiri acara keluarga bapak. Bapak harus nginap disana, selain karna faktor jarak, mereka juga sudah lama sekali tak bersua, jadi bapak sengaja nginap supaya rasa kangen mereka bisa terobati.
Mamah sengaja tidak ikut karna takut terjadi apa-apa denganku, jadi bapak hanya ditemani adikku saja.
"Aduh, Pris. Kamu harus bertahan ya, Sayang." Air mata mamah tidak bisa berhenti mengalir.