Raja siang tampak tidak bersemangat hari ini, hawa udara yang begitu sejuk menusuk ingin memaksa masuk kedalam pori pori kulit seorang gadis SMA yang tengah termenung di pinggiran warung yang ada di depan sekolah. Gadis itu adalah Aku. Tidak menunggu berapa lama, orang yang senantiasa menjemput ku tanpa diminta itupun datang dengan motor meticnya. Tanpa menunggu aba-aba dari si pemilik motor, aku langsung saja naik ke atas motor yang dikendarai kakak ku, Kak Bagas Namanya.
Jarak dari sekolah ke rumahku hanya sekitar 10 menit, kini aku dan kak Bagas telah sampai di depan rumah sederhana berpagar hitam itu. Aku sedikit heran, rumah yang tampak jarang dijamah orang, kini malah di penuhi oleh warga. Aku melihat kak Bagas dengan tatapan bertanya, tapi sepertinya kak Bagas sama halnya denganku.
Niat hati hendak masuk ke dalam perkarangan rumah, langkahku langsung terhenti mendapati pria paruh baya berbadan tegap tengah menuntun Bapak (Ayahku) berjalan ke luar pintu rumah. Tatapan ku langsung beralih melihat tangan Bapak yang kini telah terikat gelang besi itu. Aku membuka suara bertanya pada kak Bagas apa yang sebenarnya terjadi saat ini? Namun kak bagas hanya diam membisu seribu bahas dengan tatapan yang jelas pasti tidak kalah terkejutnya denganku saat ini.
Tatapanku terus menyusuri Bapak yang berjalan dengan wajah yang tertunduk menatap jalan. Disaat ia melewatiku, aku dapat melihat tatapan meminta maaf dari mata coklat milik pria paruh baya itu. Ku pandangi mobil hitam yang ditumpangi Bapak perlahan pergi meninggalkan rumah kami. Sayup sayup aku dapat mendengar perkataan ibuk ibuk yang tadi memenuhi halaman depan rumah.
“Anaknya gak tau apa bapaknya makek barang haram begituan.”
“Gak nyangka aku si Andre pecandu.”
Itulah kata kata yang dapat ku dengar dari kerumunan warga yang perlahan meninggalkan halaman rumah kami. Aku ingin tidak percaya dengan perkataan ibuk-ibuk barusan. Tapi mengingat tingkah laku Bapak belakangan ini membuat ku semakin percaya. Ku tatap dalam manik mata kak Bagas mencoba menanyakan perihal yang ku dengar baru saja. Lagi dan lagi kak Bagas memberikan tatapan heran bercampur kecewa. Aku dapat melihat bola mata kak Bagas berkaca-kaca, namun sepertinya ia menahan luapan emosinya. Lain halnya dengan ku, aku tidak dapat membendung air mata yang dari tadi sudah susah payah aku tahan.