Bidadari Kedua

Ara Pelangi
Chapter #1

Prolog

   Aroma bakhour menyeruak dari balik ruang. Suasana dibalik tirai terdengar tenang-tenang saja, namun hatiku sendiri yang ricuh oleh debar-debar yang mengiringi banyak hal yang telah lama aku renungkan tapi tak pernah terbayang akan terjadi malam ini. Aku dan jantungku bergelut, membersamai keringat dingin yang terus mengucur, menanti saat paling mendebarkan setelah menunggu 12 tahun lamanya, setelah semua foto dan seluruh cerita itu kami mengenal, dan dihari ini adalah hari pertama aku bermuwajjah dengannya, juga langkah awal dimana aku akan memiliki dan dimilikinya..... Agus Maulana Jalaluddin Rumi.

    “Nduk, ayo! Gus Jalal dan keluarganya udah nungguin!” ucap Mama sembari membuka tirai, aku masih duduk termangu di hadapan kaca rias, merapikan jilbab Rabbani berwarna biru yang aku busanai dengan gamis hitam polos. Aku usaikan berkacaku. Waktuku untuk berta’aruf sudah berdenting.

    Aku keluar merangkul semua debar lalu menyibak tirai, dan menghaturkan 5 cangkir kopi robusta kepada seluruh orang yang melingkari meja ruang tamu. Aku menghaturkannya satu persatu. Kepada Papaku,Mamaku,Abah dan Ummi calon mertuaku, juga Gus Rumi calon suamiku. Aku merasakan kalau pandangan lelaki itu telah beralih padaku seluruhnya. Aku lalu duduk di samping Mama. Aku menunduk, aku tak punya nyali untuk melihatnya setelah 12 tahun hanya bertegur sapa dengan fotonya.

    Kyai Zainal dan Bu nyai Sa’adah terlebih dahulu berkalam muqoddimah tentang tujuannya datang ke rumahku, bahkan hal itu telah jelas dari dulu. Kyai Zainal adalah teman seperjuangan Papaku ketika mondok. Hubungan mereka terjalin sangat baik, sampai akhirnya muncullah gagasan perihal perjodohan ini agar shilaturohim antara papa dan Kyai Zainal tetap terjalin. Iya, semua bermula 12 tahun lalu, saat aku belum mengerti apa ujung dari perjodohan itu, dan inilah langkah awal dari semua rencana 12 tahun silam.

    Usai kyai Zainal menuturkan tujuan yang sesunggahnya dari awal telah aku ketahui, beliau lalu menawarkan putranya untuk berbicara. Tepatnya bukan menawarkan tapi mengutus. Lagak lelaki itu seperti tengah bersiap-siap.

    “Arina...” sapa lelaki itu, suaranya sangat lembut, bahkan saat aku belum mengetahui detail wajahnya. Jantungku berdetak amat keras, aku nyaris mendengarnya. Ia berada di hadapanku yang disela meja bundar. Ia mencari pandangan yang aku tundukkan. Ia terus mengintai cahaya mataku, dan aku sedikit menoleh, memberi isyarat pada tegur sapanya yang masih malu untuk aku jawabkan. Ia mendapatkan cahaya mataku, dan diselaminya dalam dalam. Walau pandangan dariku masihlah kosong, ia membaca mataku dengan baik.

Lihat selengkapnya