Kran air aku matikan. Entah sudah keberapa kalinya aku menyalakan kran, mengambil wudlu dan mematikannya kembali. Sebenarnya mata ini tidak bersalah jika ia amat mengantuk. Mungkin lelahku yang membuat kedua pelupuk mataku ini minta di istirahatkan, tapi tidaklah semudah itu. Ada banyak hal yang tak bisa selesai jika aku menurutinya. Kamu harus tetap melek, Rin!
Aku merapikan jilbab segi empatku untuk sekian kalinya. Jilbabku lusuh dan tak bisa berdiri, karena terlalu basah mungkin. Aku melihat jam dinding. Pukul satu, dan aku belum mempunyai bekal satu ayatpun untuk aku setorkan ba’da shubuh nanti. Sedari tadi aku hanya membaca satu halaman itu berulang-ulang, tapi sama sekali tidak nyambung. Aku terlalu mengantuk.
Aku membuka halaman terakhir mushafku. Kulihat. Kuresapi cahaya di telaga matanya. Air mataku lalu menetes, bersama do’a berupa surah fatikhah yang aku panjatkan terhadapnya, terhadap lelaki yang membuatku mempunyai tirakat dan kuat, terhadap lelaki yang menjadi pelabuhan dari semua impianku. Maulana Jalaluddin Rumi.
Mungkin, banyak wanita di seluruh dunia ini yang senantiasa mendo’kan jodoh mereka, mengirim bacaan surah fatihah pada jodoh mereka, walau lelaki itu tak pernah mereka ketahui nama dan keberadaannya, tak pernah mereka kenal, tak pernah mereka lihat, tapi di takdirkan menjadi pendamping hidup mereka, menjadi teman sepanjang umur mereka.
Namun aku beruntung, aku tidak diciptakan demikian. Sejak dulu aku telah mengerti siapa lelakiku, siapa dia yang menjadi asal tulang rusukku, siapa dia yang akan menjadi imam aku bermakmum, dan siapa dia yang akan menjadi pemilikku dan seluruh dariku.
Dia lelaki sempurna. Seorang Agus berparas tampan. Seorang hafidz Qur’an, dan putra Kyai besar. Sedang aku? Hanya seorang putri Walikota yang beruntung bisa di jodohkan dengan Agus dari keluarga mulia. Mungkin karena inilah aku di beri beban yang berbeda. Agar aku pantas dimilikinya, agar aku sekufu’ dengannya.
Aku tidak tahu awal mula dari perjodohan ini. Yang sangat jelas aku ingat adalah pesan papa semasa aku kelas 2 sekolah dasar. Papa berkata bahwa aku tidak boleh dekat dengan teman laki-laki manapun. Papa bilang telah menyiapkan teman laki-laki untukku. Aku ingat dulu aku cuek-cuek saja, bahkan tidak mengerti apa maksud papa berkata demikian. Namun setelah itu papa jadi sering memberiku foto remaja laki-laki bernama Jalaluddin Rumi. Saat itu usianya mungkin sudah 15 tahun, dan aku 8 tahun. Papa selalu cerita panjang lebar tentangnya, memberitahuku kehebatan dan kelebihannya. Dari situ tumbuhlah rasa penasaranku. Siapa lelaki itu? Dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak pernah di pertemukan dengannku?
Dan pada akhirnya aku bisa memahami apa maksud perkataan papa semasa itu. Tidak membolehkanku dekat dengan teman laki-laki manapun, karena sebenarnya papa telah menyiapkan teman laki-laki untukku. Teman yang akan selalu menemaniku, mengajariku, dan menjadi imamku. Papa telah menyiapkan jodoh untukku, dan dia adalah lelaki dalam foto itu, lelaki yang selalu di ceritakan papa padaku selama ini.
Entah bagaimana aku bisa jatuh cinta padanya, pada semua fotonya, dan pada semua cerita papa tentangnya. Aku merasa tiba-tiba saja aku mempunyai keterkaitan padanya.
Lalu, saat paling mendebarkan itu tiba. Tepat setelah pengumuman kelulusanku di sekolah menengah atas, aku di pertemukan dengannya. Lelaki yang selama 12 tahun terakhir aku pandangi fotonya, yang 12 tahun terakhir mengisi ruang penasaranku, dan 12 tahun terakhir pula memenuhi kekosongan hatiku. Aku di pertemukan dengannya, Agus Jalaluddin Rumi untuk mengikat hubungan dengan tali bernama pertunangan. Aku di ikrar akan di nikahinya.
Aku membuang lamunanku, dan segera kembali pada kenyataan. Kejadian 2 tahun lalu, saat aku berusia 18 tahun, dan dia 25 tahun. Aku tak akan pernah dapat melupakannya, dan untuk menjemputnya aku harus menempuh banyak rintangan. 3 tahun setelah kelulusanku di sekolah menengah atas aku lalui dengan penuh perjuangan. Papa bukan hanya mengutusku mengahafalkan Al Qur’an, namun juga mentargetku 3 tahun hatam, 3 tahun menempuh gelar S-1 di bidang Tafsir, dan aku di ikutkan akselerasi yang tidak umumnya di tempuh orang. Aku juga harus aktif di organisasi, dan tentunya aktif mengkhodimkan diri ngalap barokah di ndalem kesepuhan. Papa berkata aku harus siap memiliki banyak tanggung jawab, karena di masa depan aku akan mendapatkan tanggung jawab yang tak kalah besar, yaitu meneruskan pesantren yang Abah dan Ummi Gus Rumi dirikan. Sungguh itu bukanlah pilihanku, dan jujur, melakukan banyak hal dalam masa yang sebentar itu berat untukku.
“Di buat tirakat nduk! Nirakati jodohmu, Nirakati Gus Jalal” itulah kata-kata mama yang selalu menguatkanku. Benar sekali, seharusnya aku siapalah aku sampai berjodoh dengan Gus Rumi yang sempurna itu. Aku harus memantaskan diri!
Benar. Aku adalah wanita yang beruntung bisa di takdirkan berjodoh dengan lelaki berasma Jalaluddin Rumi itu. Karena itulah papaku amat bersyukur bisa berbesan dengan keluarga pesantren yang mulia. Karena itu pula papa mentargetku sedemikian ini. Agar aku pantas dan kufu’ dengan Agus itu. Semua itu membuatku harus berlelah lelah, mengaji, menimba ilmu, juga mengabdi. Hanya untuk, agar aku pantas di sandingkan dengan lelaki mulia itu.
Maulana Jalaluddin Rumi..
***
“Rin, bangun!”
Sebuah tangan menepuk pundakku. Aku mengangkat kepalaku, tak sadar jika aku duduk tertidur dan meletakkan kepalaku diatas dampar. Pukul 02:30. Aku tertidur 1 jam. Alhamdulillah...
Aku langsung menuju hamam dan segera mandi. Sejak dari rumah memang aku telah melanggengkan mandi sebelum shubuh. Bukan hanya sekedar mengikuti fakta bahwa mandi sebelum shubuh itu membuat sehat dan awet muda. Lain dari itu, mandi sebelum shubuh ini sengaja aku istiqomahkan dengan niat untuk ngriadhohi atau nirakati Gus Rumi. Bukannya sesuatu yang besar itu juga membutuhkan pengorbanan yang besar? Mungkin kebiaasaan ini juga yang menjadi alasan kenapa aku otomatis sekali bisa bangun di sepertiga malam yang terakhir, dan ini adalah hal yang sangat aku syukurkan. Dengan kebiasaan inilah akhirnya aku tidak pernah absen sholat tahajud, Alhamdulillah.
Usai bertahajud serta berwirid, aku membuka mushafku, tepatnya ku buka halaman paling belakang, tempat dimana foto Gus Rumi selalu menempel. Aku memang sengaja meletakkannya di halaman paling belakang, biar tidak ketahuan kalau lelaki itu terlalu tampan untuk gadis sepertiku. Aku senantiasa memandangi dan mendo’akannya setiap akan mengaji. Hal itu meniupkan semangat dan energi tersendiri padaku. Aku kemudian membaca halaman yang akan aku setorkan. Alhamdulillah pergulatanku dengan kantuk semalam membuahkan hasil. Setidaknya aku punya hasil yang akan aku setorkan, walau hanya 1 halaman.
“Mbak Arina...!” Suara dari balik pintu hujrohku memanggil. Sepertinya suara Mas Imran putra Kyai Ja’far. Lelaki yang sering aku juluki dengan Dosen Agung Sabar itu memang sering mengujiku. Ada apa juga malam-malam dia memanggil. Aku meletakkan mushafku, dan langsung madep kepada Mas Imran.
“Injih mas, Wonten nopo nggeh?”
“Gamis abu-abu saya sudah kering?” jawabnya dengan muka datar.
Aku tercenung. Baru siang kemarin gamis itu di berikan padaku untuk di cuci, dan sekarang sudah ditanyakan. Untung saja sore kemarin aku punya dzauq untuk mencuci. Kalau saja tidak, mungkin baju itu sekarang masih belum di cuci. Jadwal mencuciku memang hanya sebelum shubuh. “Belum Mas, baru kemarin sore saya jemur”
“Aduhh..”
Wajah Mas Imran seraya berubah menjadi wajah yang tampak cemas tapi tetap diam. Aku hafal sekali makna lain yang dia ujarkan lewat wajahnya. Itu adalah kata lain dari Mas Imran tidak mau tau, gamis itu harus ada, apapun caranya. Dia memang selalu begini, tidak kira-kira kalau meminta tolong. Memang Dosen Agung Sabar.
“Mau dipakai ya Mas? Kalau begitu saya setrikakan dulu kalau memang mau di pakai” tawarku yang sungguh terpaksa.
“Lama tidak?” Sudah di tawari bantuan masih bisa menawar?. Memang Dosen Agung Sabar.
“Tidak, tinggal mamelnya, nanti kalau di setrika keringnya cepet”
“Ya udah. Cepetan ya mbak Rin..” Ia lalu beranjak dari depan hujrohku.Aku hanya memperhatikan gaya khasnya yang seolah berat memerintah, walau sesungguhnya sangat penuntut.
Dia, Mas Imran Muzakky, putra sematawayang kyai Ja’far Shodiq yang berarti adalah Gus tunggal pesantrenku. Aku bahkan memanggilnya dengan mas, karena aku tidak bisa memanggilnya dengan Gus. Ia terlalu menyebalkan untuk aku kunyahi dengan Gus. Hanya Gus Rumi yang aku kunyahi dengan Gus.
Disisi lain dia adalah lelaki yang seumuran dengan Gus Rumi yang kini tengah menempuh S2 nya di universitas yang sama denganku. Ia lebih sering membuatku sebal dan kesal, walaupun di sisi lain ia adalah lelaki yang sangat baik. Dia orang yang sangat necis tapi sangat srampangan. Dia tidak suka memberi dispensasi alias tidak bisa tidak, La Budda! Seperti kejadian barusan, ia meminta gamisnya yang telah dipakainya 3 hari yang lalu. Lantas kenapa baru siang kemarin ia berikan padaku untuk di cuci kalau di mintanya pada hari ini? Mustahil juga jika aku memprotes Mas Imran yang baru memberikan bajunya siang kemarin, itu bahkan sangat kurang ajar. Mana mungkin aku berkata seperti itu pada putra guruku. Walaupun dia amat sangat menyebalkan, ia tetaplah putra dari guruku yang juga wajib aku hormati.
Inilah mengapa barokah mengabdi pada Guru jauh lebih besar daripada barokahnya mempeng belajar. Karena mengabdikan diri pada Guru dua kali lipat lebih berat daripada menanggung sulitnya belajar. Dengan mengabdi, kita menyediakan diri, waktu, dan kekuatan kita untuk melayani para Guru kita yang ahli ilmu, sedang belajar adalah kita mengerahkan usaha dan kekuatan untuk mencapai sesuatu yang kita tuju. Maka jelas, barokah mengabdi jauh lebih besar, dan banyak Kyai-kyai besar yang masalalunya justru tidak rajin belajar, tapi karena ikhlasnya dalam mengabdi. Memikirkan itu, aku lalu tersadar.
Aku berusaha mengembalikan kesyukuranku atas semua kejengkelanku pada mas Imran. Bukannya ini sudah kehendak Allah mas Imran mengutusku menyetrika malam-malam? Mungkin inilah bagian dari ujian Allah, bukannya ujian adalah tanda Allah begitu menyayangi hambanya? Aku tidak boleh protes.
Aku menyetrika gamis Mas Imran, dan tanpa diberi aba-aba kalau aku telah selesai, mas Imran sudah menghampiriku, ia pasti sudah beberapa kali bolak balik menengokku.
”Matur suwun mbak Arina..” ungkapnya saat menerima gamis yang baru aku setrika. Senyumnya manis. Andai saja ia tersenyum seperti barusan ketika ia mengutusku tadi, aku pasti akan ringan hati, tapi sudahlah. Aku mengangguk dan sedikit tersenyum. Aku berusaha membuang semua kekesalanku.
Adzan shubuh telah menggema. Aku kembali membenahi hati untuk lebih banyak bersyukur. Beruntung saja setoran yang aku buat semalaman itu tidak terlalu kacau ayatnya, sehingga sudah bisa lancar walau baru sedikit di ulang. Seandainya saja setoranku tadi masih amburadul dan Mas Imran ujug-ujug mengutus aku seperti barusan, aku tidak tahu seperti apa nasibku ba’da shubuh nanti. Lebih banyak hal yang memang harus aku syukurkan.
Aku jadi menciptakan sebuah hipotesis. Apakah semua Agus itu serampangan dan seenak jidatnya sendiri seperti Mas Imran? Aku harap saja tidak. Memang seorang Agus sudah sepatutnya dilayani seperti halnya putra mahkota dari seorang raja, tapi Mas Imran ini sangat keterlaluan, dan pada kenyataannya ia juga berjodoh dengan Ning, yang kemungkinan besar semua sifatnya akan sama dengan Agus. Hipotesisnya jika Agus dan Ning bersatu berarti bersatu juga dua ketidakmandirian, yang ujungnya semuanya akan bergantung pada khodim dan khodimah. Begitulah aku menarik kesimpulan.
Astaghfirulloh...
Apa saja yang di pikirkan oleh otakku? Hipotesis tentang Agus dan Ning? Kebergantungan? Bukannya hanya orang yang hatinya buruk yang memandang orang lain dengan pandangan buruk? Dan, mengapa aku bisa seburuk ini? Aku segera kembali mengingkari semua hipotesisku tadi. Agus dan Ning itu bukanlah kebergantungan. Suatu kewajiban bagi santri untuk melayani Kyai atau keturunan Kyainya. Mengapa aku justru lupa pada sisi barokah yang bisa aku dapatkan? Kalau Agus dan Ning mandiri, bagaimana cara santri meraih barokah gurunya?
Untuk itulah papa meletakkanku disini, di ndalem kesepuhan, agar aku mandiri dan tidak terbiasa bergantung, dan yang jelas sudah biasa leladi, walaupun kenyataannya di rumah aku juga masih di layani oleh Mbok Tuminah asisten rumah tanggaku. Walaupun kelak di pesantren Gus Rumi juga akan banyak khodim dan khodimah, Papa berharap kelak aku bisa menjadi istri yang melayani suaminya dengan baik seperti aku melayani Kyai, Bu nyai, dan Agusku sekarang.
Papa bilang disaat aku telah resmi menjadi mantunya Kyai Zainal, berarti saat itu juga aku juga resmi menjadi santrinya Kyai Zainal dan menjadi khodimah bagi Kyai dan putra-putrinya. Ayah mungkin tidak ingin kelak aku menjadi Ning seperti hipotesisku nakalku barusan yang serba kebergantungan.
Seperti apapun itu nantinya, aku selalu berdo’a semoga saja Gus Rumi tidak seperti Mas Imran. Ia adalah lelaki yang akan meratukan istrinya, walaupun akhirnya aku akan memaksa untuk tetap mengabdi padanya. Semoga semuanya tersemoga.
***
Kegiatan majlis sudah usai, tapi terik matahari yang biasanya telah begitu menyengat kini justru belum terlihat mengintip. Langit di dera mendung. Lagi-lagi aku harus banyak bersyukur jika kemarin sore mempunyai dzauq untuk mencuci, kalau tidak mungkin akan banyak cucian yang gagal kering.
Suasana di dapur ndalem sudah lengang, karena lebih banyak orang yang memilih berpuasa di hari senin. Aku memilih untuk berangkat kuliah agak siang dan menyelesaikan makalahku di dalam hujroh, tentunya sambil mendengar suara Laila, Nurjannah, dan Nurma yang tengah asyik sendiri-sendiri dalam muroja’ahnya.
Itulah aku yang berbeda dengan seluruh santri di pesantren ini. Di pagi hari saat semua santri tengah menggebu-gebu muroja’ah, aku justru jarang berada di ma’had karena harus kuliah. Muroja’ahku juga tak akan bisa menandingi muroja’ah mereka yang waktunya luang. Mudarosahku juga tak akan bisa melampaui banyaknya mudarosah mereka yang hanya berfokus pada menghafalkan Al Qur’an. Mereka mempunyai banyak waktu luang yang tidak aku miliki. Tapi justru karena kesibukan ini aku jadi menghargai setiap detik waktuku, bahwa ia adalah hal yang sangat berharga yang tidak boleh di sia-siakan. Setiap detik yang kita miliki adalah untuk hal yang bermanfaat. Seperti ucapan Imam Syafi’i: “Waktu ibarat pedang, jika engkau tidak menebasnya maka ialah yang menebasmu”. Membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan anggapan esok masih ada waktu merupakan salah satu tanda tidak memahami pentingnya waktu.
Pukul 09:30. Aku telah siap dengan semua pekerjaanku. Aku mempersiapkan diri untuk berangkat. Akan ada 3 mata kuliah hari ini, itu artinya mungkin sebelum maghrib nanti aku telah bisa pulang ke ma’had ini.
Program Semester Pendek membuatku harus berbetah-betah berada di kampus, juga dengan semua tetek mbengek lainnya seperti diskusi, tugas, dan wajah dosen yang seringkali menakutkan. SP juga membuatku berteman dengan kakak angkatan yang memiliki tingkat sakit kepala parah yang tak kalah dengan sakit kepala yang aku rasakan. Kitab-kitab Tafsir yang tebal seakan sudah menggantikan nasi sebagai makanan pokok, kamus setebal Munawwir seakan sudah menjadi lauk makan, buku-buku tebal di perpustakaan seakan telah menjadi cemilan sehari-hari, dan berbicara dengan bahasa Arab sudah seperti Stand Up Comedy yang selalu ada setiap hari.
Aku memakai rok levis berwarna hitam, tunik marun dan jilbab Rabbani dengan warna yang senada. Usiaku 5 bulan yang lalu telah berubah menjadi 20 tahun, tapi tak akan ada yang menyangka di usia yang semuda itu aku telah mengalami masa tenggang untuk segera menikah. Wajahku sebenarnya masih terlihat terlalu muda untuk menikah, apalagi jika di sandingkan dengan Gus Rumi yang memang terpaut jauh usianya denganku, aku malah merasa seperti adiknya. Tapi aku tenang saja, faktanya wanita itu lebih cepat terlihat tua daripada laki-laki. Kelak wajahku yang mereka bilang terlalu muda untuk Gus Rumi juga akan menyesuaikan dengan sendirinya.
Aku berjalan menenteng tas berisi laptop dan beberapa modul dari pesantren menuju halte. Aku sendirian karena aku adalah satu-satunya santriwati yang kuliah. Di pesantren memang hanya di program untuk menghafal saja, selainnya hanya ada sekolah diniyah dan kejar paket, kecuali aku. Papa memang membujuk Kyai Ja’far agar memperbolehkanku untuk kuliah. Awalnya Kyai Ja’far tidak setuju dengan permintaan papa, tapi setelah itu papa menceritakan semua tentang kronologi perjodohanku, tidak mungkin aku dipersunting oleh putra Kyai besar yang sudah hafal Al Qur’an dan menyandang gelar master kecuali aku dapat menyetarakan drajatku, dalam artian aku harus sekufu’ dengan Gus Rumi. Mendengar itu Kyai Ja’far lalu membolehkanku.
Aku duduk di kursi halte yang tak jauh dari pesantrenku. Belum lama bus jurusan menuju kampusku sudah atret. Seperti biasa, Pak Parjo kernet bis itu selalu nyumanggakne aku dan memberiku tempat duduk istimewaku, yaitu tempat khusus untukku saat aku naik bis itu. Tepatnya di deret 2 kursi di baris yang pertama, di dekat pintu. Sengaja aku diletakkan disitu agar aku mudah kalau keluar dan mudah pula di ajak bicara oleh pak kernet yang seringnya duduk di kursi depan pintu, yang tak lain berarti di hadapanku. Bukan hanya pak Parjo, sangatlah sering orang memberi aku perlakuan istimewa, karena semua orang pasti tahu siapa aku, Arina Manistaufia, putri Bapak Walikota Khotib Ma’ruf.
“Bawaannya banyak sekali Mbak Arina..” Sapa pak Parjo yang berdiri memberi karcis wanita disebelahku.
“Tahun terakhir pak, semuanya dibawa buat kerja keras besar-besaran”
“Bukannya empat tahunnya masih kurang satu tahun lagi to Mbak Arina?”
“Mboten pak Parjo, Insya Allah ini tahun terakhir saya. Saya ikut akselerasi”
“Wis, sama aja mbak Arina, pak Parjo gak mungkin nyambung sama begitu-begituan”