Matahari keluar dari tempat persembunyiannya tanda bahwa pagi telah tiba, suasana stasiun pagi itu benar-benar ramai oleh orang yang ingin pergi ke kampung halaman. Sejuknya udara pagi kota Jakarta berhembus damai. Sedamai suasana hati dalam sujud kepada Ilahi.
Lelaki berbadan tegap tergesa-gesa menuju ke loket
“Mbak, tiket Jakarta-Surabaya satu.” Ujar lelaki tersebut
“ini, Mas.”
“Terima kasih Mbak, ambil saja kembaliannya.”
Jam di stasiun menunjukkan pukul lima pagi.
Kereta maju perlahan. Lelaki itu mendapat kursi di gerbong empat. Ia mendapat tempat duduk di dekat jendela dan pintu keluar. Ia bersyukur, ia mendapat tempat duduk di tempat tersebut karena ia bisa keluar tanpa berdesakan dengan penumpang yang lain. Ia terus memandang keluar jendela tanpa sadar ada seorang perempuan yang telah duduk di sampingnya. Ia melamun
“ Tiketnya, Mas.” Suara kondektur memecah lamunannya
Seketika lelaki itu menyerahkan tiket yang ada di sakunya dan kaget melihat seseorang yang ada di sebelah kanannya. Seorang perempuan berwajah anggun, memakai kerudung dan gamis merah marun dengan balutan jas hitam yang makin menambah keanggunannya.
Wajah yang putih dan bersih seperi seorang putri raja, hidung lancip nan mancung, alis tebal, dan bulu mata yang lentik bak orang Arab pada umumnya. Bola matanya bak globe yang terus berputar mengintai keadaan sekitar, menyesuaikan dirinya dengan suasana kereta. Pipinya merah merona, semerah kerudung yang sedang dipakainya.
Perempuan itu selalu menunduk selama perjalanan, ia terus memandang smartphone miliknya dengan tangan yang bergetar. Mulutnya terus bergerak mengimbangi matanya yang menatap lekat layar smartphone tersebut. Sepertinya ia sedang membaca al-Quran, lengkap dengan peresapan maknanya.
Hati lelaki tersebut berdesir ketika pertama kali menatap wajah perempuan tersebut. Ia bergegas mengalihkan pandangannya ke kaca jendela dan melihat keadaan kota Jakarta. Kereta menjauh, stasiun perlahan mengecil dan tak terlihat lagi.
Sejak kecil, ia hampir tidak pernah duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang bukan mahromnya. Saat kuliah-pun begitu, ia berusaha keras untuk menghindari duduk bersebelahan dengan seorang perempuan meskipun ia adalah teman dekatnya. Tetapi apa daya, ia tidak bisa menghindari perempuan itu. Mana mungkin ia akan terus berdiri sementara perjalanan yang ia tempuh kira-kira sebelas jam. Terpaksa ia tidak pindah.
Pemandangan pertama yang ia temukan adalah pemukiman penduduk yang kumuh. Di tengah-tengah mereka terdapat satu gundukan sampah yang digunakan sebagai pusat kehidupan bagi masyarakat di daerah tersebut. Mayoritas orangnya bekerja sebagai pemulung yang memanfaatkan gundukan sampah yang ada. Mulai dari anak-anak, orang dewasa, para perempuan paruh baya, nenek-nenek bertongkat, hingga lansia berseragam. Lelaki tersebut terharu melihat pemandangan yang ia temukan. Hatinya tergugah. Perasaannya sedih melihat pemandangan yang ada. Ingin rasanya ia datang dan melihat langsung kondisi di sana. Tetapi apa daya, ia hanyalah seorang pemuda yang lemah.
Pemandangan kedua yaitu bekas gerbong kereta api yang sudah tidak dipakai. Gerbong-gerbong tersebut ada yang dijadikan sebagai tempat tidur, ada yang sebagai tempat bermain anak-anak kecil di tempat itu, bahkan yang lebih parah ada yang dipakai untuk remaja yang ingin melakukan hal yang dilarang oleh syariat agama. Pemandangan kedua ini lebih parah dari pandangan pertama menurut lelaki itu karena adanya penyalahgunaan fungsi suatu tempat. Pikirannya sekarang menuju ke pemerintah Indonesia.
Lelaki itu heran kenapa pemerintah bisa tertawa melihat keadaan rakyat yang dipimpinnya seperti kedua pemandangan tersebut. Seharusnya pemerintah sadar bahwa mereka adalah suatu amanat yang sudah dipilih oleh rakyat dan imbas baiknya akan kembali juga kepada rakyat.
Korupsi di tanah air tercinta ini merupakan faktor utama yang membuat kita tidak bisa menjadi negara maju. Siswa yang tidak jujur dalam ujian merupakan salah satu bibit koruptor karena di masa kecilnya saja ia berani berbohong meskipun itu hanya untuk mencontek atau melihat buku catatan saat ujian
Mata lelaki tersebut mulai mengantuk. Ia mencoba untuk memejamkan mata. Dari malam, ia tidak tidur karena menyelesaikan tugas dari profesor pembimbingnya. Ia baru menyelesaikan tugas tersebut tepat pukul tiga pagi. Oleh karena itu, matanya sudah panas dan meminta segera diistirahatkan.
Sesudah menyelesaikan tugasnya, ia tidak langsung tidur begitu saja. Ia menggelar sajadahnya dan segera mengambil wudhu untuk salat hajat sekaligus menunggu subuh dan berangkat menuju stasiun berharap stasiun tidak terlalu ramai pada pagi hari karena Sejak di pondok pesantren ia sudah terbiasa untuk salat hajat maupun tahajud.
Lelaki tersebut juga punya sifat yang mandiri. Sejak sebelum nyantri di pondok pesantren, ia sudah tidak ingin merepotkan orang tuanya. Ia juga mempunyai. tabungan sendiri saat nyantri.
Ia seorang santri yang sederhana yang istikamah untuk mengisi infak di masjid di pesantrennya. Ia mulai melakukan istikamahnya setelah mendengar nasehat dari ustaznya tentang keutamaan orang yang infak ataupun sedekah. Penjelasan dari ustaznya selalu terngiang-ngiang di dalam pikirannya.
Nasehat dari ustaznya seperti sebuah pegangan bagi orang yang sedang limbung. Selalu membantu untuk berdiri dengan kokoh meskipun dalam keadaan yang menyusahkan. Hal tersebut sama halnya seperti bangunan kecil yang kokoh dan tidak akan roboh meskipun ditempa gempa yang membuat masyarakat heboh.
Lelaki itu mulai larut dalam mimpi-mimpinya. Sesaat sebelum kereta berangkat dari stasiun Lempuyangan, tiba-tiba terdengar suara perempuan yang merusak mimpi indahnya.
“Tolong .. tolong ..”
Ia terbangun, sontak ia melihat ke kanan tempat sumber suara tersebut muncul. Ternyata itu adalah suara perempuan yang awalnya duduk di sebelahnya. Kini, perempuan tersebut sudah tidak ada di tempat duduknya dan berada di tangan seorang pencopet yang menyembunyikan wajahnya dibalik slayer hitam. Pencopet itu hanya menampakkan sedikit matanya saja.
Lelaki tersebut melihat sekelilingnya. Sebagian penumpang enggan untuk menolong perempuan yang tersandera itu, entah karena tidak ada nilai sosial dalam diri mereka, entah mereka takut dengan sebilah pisau yang digunakan pencopet tersebut untuk mengancam perempuan berkerudung merah marun. Sorot mata si pencopet seakan-akan memberi isyarat bahaya pada seseorang yang akan menggagalkan aksinya.
Lelaki berbadan tegap menatap pencopet dengan tatapan amarah. Ia mengatupkan rahangnya, darahnya sudah naik pitam, emosinya mencapai batas maksimal melihat perempuan suci diperlakukan layaknya tidak ada harganya.
“Bukk...” Tendangannya tepat mengenai pinggang kanan si pencopet yang membuatnya jatuh.
Perempuan itu seketika berlari dan berlindung di ujung gerbong.