“Mar, ayo bangun, udah mau sampai pondok.”
Suara Ibu membangunkan Ammar dari mimpi-mimpinya. Mobil sudah dekat dari pesantren Azmy, adiknya.
“Kok cepet?”
“Wong tidur mulu, gak cepet gimana.”
Ammar mengucek matanya. Ia melihat pemandangan yang tidak asing baginya. Ya, ia adalah alumni pesantren tempat belajar adiknya sekarang, tepatnya angkatan keempat dan adiknya kesepuluh.
Amanatul Ummah, begitulah warga menyebut pesantren yang didirikan di Pacet tahun 2006 ini. Bukan sebagai pondok pusat, melainkan sebagai cabang yang kelak lebih bersinar daripada pondok Amanatul Ummah pusat yang terletak di Siwalankerto, Surabaya. Semua itu tak lepas dari doa dan ikhtiar sang pendiri pesantren. Kiai Asep, begitulah sosok yang gigih dan sederhana itu dikenal.
Kiai Asep selalu berharap mempunyai sebuah pesantren di sekitar dataran tinggi dengan sebuah sungai yang mengalir di tengahnya serta tidak terlalu dipadati penduduk. Setelah menunggu belasan tahun lamanya, doa beliau dijawab oleh Allah dengan hadirnya Amanatul Ummah di Pacet, Mojokerto. Suasana yang tenang, jauh dari jalan raya, dan udara yang masih segar menjadi nilai tambah yang dimiliki pesantren ini.
Bermodal uang hasil tabungan beliau dan tambahan dari Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, seorang ulama kharismatik dunia, maka dibelilah sebuah villa kecil di lereng gunung Penanggungan. Hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun, pondok gedek telah beliau sulap menjadi pondok yang megah dengan kapasitas santri yang mencapai ribuan. Itu semua tidak lepas dari tirakat dan ikhtiar sang pengasuh pondok pesantren dan barokah seorang waliyullah, Abuya Sayyid Muhammad.
Lantas, siapakah sosok Kiai Asep sebarnya?
Kiai Asep adalah anak bungsu dari kiai Abdul Chalim, salah seorang pendiri organisasi NU. Pribadi yang cekatan dan tak kenal menyerah merupakan cerminan dari abah beliau, kiai Chalim yang patut menjadi teladan yang merupakan salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam sejarah berdirinya NU.
Sejarah mencatat, mbah Chalim nekat berjalan kaki sebatas untuk mengirim surat kepada para ulama yang ada di Surabaya agar membentuk suatu organisasi yang mewadahi para ulama Indonesia karena pada saat itu kondisi bangsa sedang tercerai-berai dan sedang dijajah oleh Belanda. Usulan tersebut didukung oleh sahabat beliau, Mbah Wahab. Keduanya pun setuju untuk membuat organisasi yang mewadahi para ulama Indonesia. Niatan itu beliau sampaikan kepada Hadratus Syaikh kiai Hasyim Asy’ari, seorang ulama yang berasal dari Jombang. Usul itu disetujui oleh mbah Hasyim.
Tibalah saat yang ditunggu. Organisasi Nahdlatul Ulama telah selesai diresmikan dan diketuai oleh mbah Hasyim sendiri. Saat itu, mbah Chalim menjabat sebagai katib Tsani mendampingi sahabat beliau, mbah Wahab Hasbullah selaku katib awwal atau sekretaris utama.
Perjuangan kiai Asep pun tak kalah dramatis. Perjalanan panjang dari Cirebon ke Surabaya hanya untuk menjemput ilmu ditempuh dengan bekal seadanya. Saat kuliah, beliau hanya memiliki satu celana yang digunakan untuk kuliah dan sebuah sarung yang digunakan untuk beribadah. Tak sebatas itu, Beliau rela bekerja apapun demi mencukupi kebutuhan selama perkuliahan. Beliau pernah merasakan kerja sebagai kuli bangunan, guru sekolah dasar, dan berbagai pekerjaan yang lain.
Kiai Asep tak pernah sekalipun melewatkan salat malam, baik dalam keadaan sakit ataupun di kendaraan. Pernah suatu waktu saat perjalanan menggunakan kereta, beliau membangunkan penumpang lain dan mengajak mereka untuk salat malam. Tidak jarang dari mereka memandang sinis apa yang dilakukan kiai Asep untuk membangunkan mereka.
Kiai Asep istikamah untuk salat malam sebanyak dua belas rakaat, dimanapun beliau berada. Ketika beliau sakit, dalam udzur, ataupun hal lain yang membebani beliau, pasti tidak akan pernah ada diskon untuk rakaat salam malam beliau.
“Parkirnya rame, putar balik wis.” Kata Ayah.
Mobil sedan itu putar balik dan belok ke pertigaan sebelum menuju ke pondok melalui jalan yang menanjak ke atas. Jalan itu dulunya bergeronjal dan penuh dengan bebatuan, tetapi sekarang sudah diaspal dan mulus tanpa ada hambatan. Sisi kiri jalan itu terdapat sungai kecil yang sangat jernih, airnya langsung berasal dari pegunungan yang ada di sana, sedangkan sisi kanannya terdapat terasering yang indah dipadu dengan perkebunan warga setempat. Mobil terus menanjak ke atas.
Semakin jauh maka pemandangannya akan semakin indah. Kita bisa melihat persawahan yang terbentang luas ketika menoleh ke kanan. Kita juga bisa melihat masjid pesantren dari jalan ini. Di sebelah kiri jalan itu terdapat Sepatu Belanda, sebutan untuk sebuah mata air yang didirikan pada masa kolonial yang bentuknya menyerupai sebuah sepatu. Sayang, mata air itu sudah lama kering dan tidak terawat. Biasanya, anak-anak pesantren menggunakannya sebagai tempat untuk mengambil foto kenangan ataupun mengabadikan momen bersama.
Mobil berbelok ke kiri. Kini yang terlihat adalah rumah-rumah warga. Rumah mereka sederhana tetapi terlihat indah karena tumbuhan hijau yang ada di depan rumah mereka.
Mobil kembali belok kiri melewati balai desa setempat.
****
Seorang remaja dengan sarung hitam meninggalkan masjid. Suara murattal syaikh as-Sudais membangunkannya dari tidur. Bergegaslah ia kembali ke asrama.
“Bangun tidur, My?” Tanya seorang temannya padanya.
“Iya, dari masjid tadi.” Jawabnya pelan.
Suasana pesantren masih sepi, hanya terlihat beberapa santri yang berlalu-lalang dari kamar mandi asrama. Azmy melihat jam tangannya, pukul tiga pagi. Wajar apabila teman sekamarnya masih tertidur pulas. Ia berjalan menuju loker bagian pojok kanan atas lemari kamar empat dan mengambil alat mandi yang ada di situ. Sudah menjadi kebiasaan para santri untuk mandi terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan sehari-hari, utamanya sebelum berangkat ke masjid.
Azmy masuk ke kamar mandi, badannya seolah tidak mau bersentuhan dengan air pesantren yang dingin karena letak pesantrennya yang berada di dataran tinggi. Ia memaksakan tubuhnya agar mau menerima air dingin tersebut. Dinginnya air pegunungan di pagi hari terasa seperti air es. Mandi pagi dapat menyehatkan badan, memperlancar peredaran darah, dan yang paling penting bagi seorang santri yaitu sebagai sarana penghilang kantuk. Santri yang sering mandi di pagi hari umumnya kelihatan lebih fresh ketimbang yang tidak melakukan hal tersebut.
Setelah mandi dan berganti pakaian, ia bergegas berangkat ke masjid. Tak lupa, sebuah kitab, pena, dan tasbih putihnya selalu dibawa acapkali kegiatan pagi di masjid yang dipimpin langsung oleh kiai Asep, kitab Mukhtarul Ahadits.