Bidadari Langit Pesantren

Moore
Chapter #6

Tersipu Malu

Ammar berlari kecil menyambut pagi yang cerah. Azmy mengikuti langkah kakaknya sembari menyapa warga yang berbelanja. Mereka berdua adalah kader kebanggaan desa yang pergi jauh. Ammar yang berada di Jakarta dan Azmy di Pacet.

Keringat menetes di dahi mereka. Semangat mereka tak surut sedikitpun. Wajah mereka mengkilap terkena sinar matahari pagi.

“Jadi jam berapa nanti?”

“Jam sembilan.”

Ammar melirik jam tangannya. Pukul lima empat lima pagi.

“Ayo balik terus siap-siap. Surabaya rawan macet kalo pagi.” Ajak Ammar pada adiknya.

Mereka lanjut lari kecil menuju rumah. baju putih Azmy basah seperti habis digunakan untuk mandi. Mereka sudah sampai rumah. Azmy langsung masuk kamar dan menyalakan kipas angin. Ammar lebih memilih angin pagi yang menghilangkan keringatnya. Setelah itu, ia pergi ke kamarnya dan melihat kalender yang ada di samping lemari.

Pagi itu matahari benar-benar cerah. Tidak ada tanda jika hujan akan turun. Cahanya menyapa warga yang berangkat bekerja menafkahi keluarga. Angin pagi bertiup dari persawahan menyelubungi setiap lapisan kulit. Dedaunan hijau yang menghipnotis siapapun yang memandang.

Ammar dan Azmy bersiap-siap untuk berangkat ke Surabaya, metropolitannya Jawa Timur. Mereka berdua mandi dan berganti pakaian.

Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Mereka berdua telah sampai di Aloha. Deru kendaraan, asap knalpot, polusi udara adalah hal yang tidak pernah terpisahkan dari kemacetan, terkhusus di bundaran Waru. Untungnya, jalanan tidak begitu ramai hari ini sehingga mereka bisa sedikit leluasa saat berkendara.

Sesampainya di taman pinang, Ammar memarkir sepeda motornya dan melangkah mengikuti Azmy yang berjalan dengan santai.

Azmy melambaikan tangannya pada seseorang. Disana telah duduk seorang perempuan dan seorang laki-laki yang wajah keduanya hampir mirip, mungkin kakak beradik. Azmy menyalami saudaranya di pesantren. Halim membuka percakapan dengan obrolan hangat dan beberapa candaan.

“Oh iya, lupa. Kenalkan ini temen kamarku, Mas. Namanya Halim.”

“Salam kenal.”

“Kalau yang ini kakaknya Halim, namanya Icha.”

“Kamu..” Sontak Ammar dan Icha sama-sama kaget.

Icha kemudian melamun, ingatannya kembali saat ia berada di kereta. Saat ia dalam keadaan terdesak. Saat pisau terpampang di lehernya. Saat ia sedang dalam ketakutan yang sangat. Seketika matanya menatap lengan kiri Ammar. Imajinasinya bermain.

Sementara Ammar kagetnya bukan main. Icha, perempuan pertama yang membekas di pikirannya ternyata kakak dari sahabat adiknya. Kebetulan yang rumit, tapi begitulah kenyataan.

“Mbak, kok melamun?” Halim menyenggol kakaknya.

“Eh, Iya..”

Mereka berempat berbincang-bincang dan bercanda bersama. Sebuah pertanyaan tiba-tiba keluar dari mulut Halim.

“Mas, aku punya teman yang susah banget untuk diatur. Kata ustazku hatinya itu tertutup dan mati. Maksudnya apa itu?”

Azmy paham dengan maksud pertanyaan tersebut karena yang dimaksud “teman” oleh Halim adalah salah satu anggotanya dalam organisasi.

Lihat selengkapnya