Semua audien sudah berada di posisinya masing-masing. Ammar dan Icha sudah siap untuk memasuki sesi tanya jawab. Halim yang tiba-tiba datang tanpa mengabari kakaknya, duduk di posisi paling belakang berharap dia mendapat jatah pertanyaan.
“Baik, yang ingin bertanya?” Jho selaku moderator membuka sesi tanya jawab.
Pertanyaan pertama dan kedua dengan mudah dapat dijawab oleh Ammar, sekarang tiba pertanyaan terakhir.
Beberapa audien mengacungkan tangan. Agaknya Jho lebih berminat memilih seorang remaja berkaos putih polos yang duduk di bangku paling belakang.
“Silahkan.”
Ammar dan Icha sama-sama kaget melihat siapa yang bertanya, terutama Icha sendiri karena tidak tau jika adiknya ikut hadir disini.
Diawali dengan salam dan perkenalan, Halim mengutarakan pertanyaannya, “Beberapa dari kita pasti sudah mengenahui ulama yang memiliki kapasitas tingkat dunia dari sisi pemahaman keislaman dan perbandingan agama. Yang saya tanyakan, Apakah masih ada ulama yang diakui tidak hanya karena kehebatan ilmu agama mereka, tetapi juga mendapat sorotan dunia atas prestasi ilmu eksaknya?”
“Agaknya itu keluar tema, tapi pertanyaan yang bagus kok. Terima kasih untuk saudara Halim.”
“Untuk saudara Ammar, dipersilahkan untuk menjawab.” Pinta Jho
“Baik, contoh yang pertama adalah Prof. Dr. Abdus Salam, seorang pribadi yang istimewa, ilmuwan pemenang nobel fisika tahun 1979 asal Pakistan. Sebagai ilmuwan, ia tidak hidup di menara gading. Meski biasa berkutat di laboratorium nuklir, ia juga sering memperhatikan eksploitasi Dunia Ketiga oleh negara-negara maju.
“Dalam usia sangat muda, yakni 22 tahun, Prof. Salam meraih doktor fisika teori dengan predikat summa cumlaude di University of Cambridge, sekaligus meraih Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St.John’s College, Cambridge.”
“Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Pakistan itu mendapat tak kurang dari 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburgh pada tahun 1971, Universitas Trieste pada tahun 1979, Universitas Islamabad pada tahun 1979, dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Salam adalah satu dari empat muslim yang pernah meraih Hadiah Nobel. Tiga lainnya adalah Presiden Mesir Anwar Sadat (Nobel Perdamaian 1978), Naguib Mahfoud (Nobel Sastra 1988), Presiden Palestina Yasser Arafat (bersama dua rekannya dari Israel, Nobel Perdamaian 1995).”
Ammar berdehem sedikit, kemudian melanjutkan pemaparan
“Dapat kita lihat, beliau merupakan ilmuwan yang diakui oleh dunia sebab sepak terjang keilmuannya, bukan dari bidang lain.”
“Apakah sudah selesai atau masih ada jawaban tambahan?” Jho bertanya.
Belum sempat Ammar membuka mulutnya, Icha langsung menerjang dengan penjelasan yang baru.
“Salam pernah dipanggil pulang oleh Pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasihat Presiden Pakistan Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan iptek di negaranya.”
Ammar memilih diam dan mengalah pada Icha. Ia tidak langsung duduk karena ia tahu bahwa ini adalah pertanyaan yang harus dijawabnya. Ia memilih berdiri sebagai penghormatan atas Icha.
“Yang lebih mengesankan, Salam mengundurkan diri dari posisinya di pemerintah ketika Zulfiqar Ali Bhutto naik menjadi PM Pakistan. Profesor Salaam tak bisa menerima perlakuan Ali Bhutto yang mengeluarkan Undang-Undang minoritas non Muslim terhadap Jemaat Ahmadiyah- komunitas Islam tempat dirinya lahir dan dibesarkan. Tak ada dendam yang sanggup melahirkan perasaan Permusuhan Salam pada Negerinya Pakistan.”