Bidadari Langit Pesantren

Moore
Chapter #10

Takdir

Ammar belum membuka matanya tiga hari ini. Ayah dan Ibu khawatir akan keadannya. Ia masih koma. Pakde, Bude, Mbah, dan Halim beserta kakaknya juga gak kalah risau melihat Ammar yang masih memejamkan matanya.

Suasana rumah sakit malam itu terbilang sepi, hanya suara angin malam yang mengiringi dekurang nafas pasien yang sedang beristirahat. Lorong di depan ruangan sangat sunyi.

Ibu menangis di atas bahu kanan Ammar, ia membisikkan sesuatu di telinganya.

“Nak, bangunlah jika kamu masih sayang ibumu ini.”

Ibu tak henti-hentinya menangis. Ia tidak ingin kehilangan anak sulungnya. Matanya sembab karena telalu banyak air mata yang keluar dari kelopak matanya. Alat pengukur detak jantung menunjukkan masih ada aktivitas di jantung Ammar, meskipun lemah. Ibu selalu berdoa di setiap malam untuk kesehatan kedua anaknya yang sama-sama dirawat di rumah sakit ini.

“Ayah .. Ayah ..“ Ammar terus-menerus memanggil ayahnya.

“Ayah disini, Nak.” Ucap ayah mengelus rambut Ammar.

Dahi Ammar mulai berkeringat. Dirinya terlihat memaksa kakinya untuk bergerak, tapi tidak bisa. Bibirnya terus memanggil Ayahnya. Matanya perlahan-lahan membuka.

“A..Ayah.”

“Iya, Nak. Ini Ayah.”

“Ibu.”

Ibunya masih menangis melihat Ammar yang terbaring lemah.

“Mbah, Pakde, Bude juga disini, Nak.” Ayahnya terus mengelus rambut hitam Ammar

“A..Adik mana, Yah?”

“Adikmu di kamar sebelah.”

Ingatan Ammar perlahan-lahan kembali. Ia mulai mengingat kronologi kejadian yang membuatnya berada di sini.

“Adik nggak apa-apa?”

Dalam kondisinya yang seperti ini, Ammar masih sempat memikirkan Adik semata wayangnya juga. Kasih sayangnya kepada Sang Adik hampir menyamai cintanya kepada kedua orang tuanya.

“Adikmu sudah baikan. Sekarang menjalani masa pemulihan.”

Alhamdulillah.

Ada sedikit kebahagiaan di mata Ammar. Mata yang jernih dan menandakan betapa kasihnya ia kepada adiknya. Kondisinya yang demikian tidak ia gubris, yang penting adiknya selamat.

Wajah Ammar berubah. Setelah mencium trotoar dan terlempar dari motor, pipi kanan Ammar tidaklah rata lagi. Perban membalut sebagian besar wajahnya. Untungnya, helm yang ia gunakan tidak lepas dari kepalanya. Mungkin kalau helm itu lepas waktu ia terlempar dari motor, ia hampir dipastikan lupa ingatan dan tidak mengenal semua yang ada di sampingnya.

Tak lama kemudian, seorang dokter yang masih muda mendatangi Ammar dan keluarganya.

“Selamat malam.”

Lihat selengkapnya